Oleh: Yogianto
1. Pengertian Morfologi
Kata merupakan unsur penting dalam memahami suatu bahasa sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, kajian terhadap bahasa dapat difokuskan pada kata dan proses pembentukannya. Cabang linguistik yang mempelajari kata dan pembentukannya disebut morfologi. Ramlan (1985) mengatakah bahwa morfologi merupakan salah satu cabang linguistik yang mempelajari atau mengkaji atau menelaah seluk beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap kelas kata dan makna kata. Atau dengan kata lain, bahwa morfologi mempelajari seluk beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatikal, maupun fungsi semantik. Morfologi berkaitan dengan kajian pembentukan kata melalui proses penggabungan morfem yang satu dengan morfem yang lain. Kridalaksana (1996) mengatakan bahwa morfologi dipandang sebagai subsistem yang berupa proses yang mengolah leksem menjadi kata. Dalam pengertian ini leksem sebagai satuan leksikal, sedangkan kata sebagai satuan gramatikal. Berdasarkan penertian di atas, dapat dikatakan bahwa kajian terkecil dari morfologi adalah morfem dan kajian terbesar adalah kata. Perhatikan diagram berikut ini.
2. Morf, Morfem, dan Kata
2.1 Morf
Morf adalah satuan bentuk terkecil yang sudah mempunyai arti. Pada hakikatnya morf adalah deretan fonem. Karena itu morf-morf kita tuliskan secara fonemis. Dalam bahasa Indonesia kita jumpai kata seperti rumah, berumah, rumah-rumah, di rumah, dan sebagainya. Dengan melihat deretan bentuk itu saja, kita dapat memerikan bahwa ada bagian bentuk yang dapat kita pisahkan dengan mudah, yaitu rumah. Dengan demikian kita dapat menetapkan bahwa / r u m a h/, / b e r /, / d i/ merupakan satuan terkecil yang bermakna. Satuan-satuan itu masing-masing disebut dengan morf.
Satuan meN- yang mempunyai struktur fonologik mem-, men-, meny-, meng-, dan me-, misalnya pada membawa, mendatang, menyuruh, menggali, dan melerai. Bentuk-bentuk mem-, men-, meny-, meng-, dan me-, masing-masing disebut dengan morf, yang semuanya merupakan alomorf dari morfem meN-. Contoh lain, morfem ber-, yang terdiri dari morf ber- pada kata berjalan, morf be- pada kata bekerja, morf bel- pada kata belajar. Morf ber-, be-, dan bel-, ketiganya merupakan alomorf morfem ber-.
2.2 Morfem
Morfem adalah bentuk yang paling kecil yang mempunyai arti yang terdapat dalam pembentukan kata dari setiap bahasa. Sebuah morfem dapat terbentuk dari satu atau dua bunyi atau beberapa bunyi yang mempunyai sebuah unit yang bermakna. Sebuah morfem merupakan segmen terkecil dari bahasa yang harus memenuhi kriteria: (a) sebuah morfem adalah sebuah kata atau bagian dari kata yang mempunyai arti, (b) sebuah morfem tidak dapat dipisahkan ke dalam bentuk yang lebih kecil tanpa mengubah artinya atau tanpa bagian-bagian yang berati, dan (c) morfem dapat muncul pada lingkungan verbal tertentu dengan arti yang tetap. Kata memperbesar, misalnya, dapat dipilah sebagai berikut.
mem-perbesar
per-besar
Jika satuan besar dipilah lagi, maka be dan sar masing-masing tidak mempunyai makna. Satuan seperti mem-, per-, besar disebut morfem. Morfem yang dapat berdiri sendiri, seperti besar, dinakan morfem bebas, sedangkan yang melekat pada satuan lain, seperti mem- dan per- dinamakan morfem terikat. Dengan batasan itu, maka sebuah morfem dapat berupa kata (seperti besar di atas), tetapi sebuah kata dapat terdiri atas satu morfem atau lebih. Contoh, kata memperbesar di atas adalah satu kata yang terdiri atas tiga morfem, yakni dua morfem terikat mem- damn per- serta satu morfem bebas besar. Satuan besar itu sendiri terdiri satu morfem yang kebetulan juga satu kata.
Oleh karena itu, ditinjau dari kemampuannya untuk dipergunakan dalam tuturan, morfem itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas ialah morfem yang dalam tuturan biasa, mampu berdiri sendiri sebagai unsur tuturan. Morfem terikat tidak mampu berdiri sendiri dalam tuturan biasa. Setiap morfem bebas disebut dengan bentuk dasar atau asal, dan morfem terikat dapat berwujud afiks. Kata dalam bahasa Indonesia dapat berbentuk kompleks dan dapat pula berbentuk tunggal. Bentuk tunggal terdiri atas sebuah morfem, sedangkan bentuk kompleks dapat terdiri atas lebih dari satu morfem. Morfem imbuhan selalu merupakan morfem terikat.
Berdasarkan pentingnya morfem dalam berkombinasi dengan morfem lain dapat diklasifikasikan menjadi morfem dasar dan morfem imbuhan. Pada setiap kombinasi, morfem dasar itu selalu ada, karena memang menjadi dasar bentukan yang lebih besar daripada morfem dasar itu sendiri. Tetapi morfem imbuhan tidak selalu harus ada dalam kombinasi. Tidak pernah ada suatu bentuk yang hanya terdiri dari atas kombinasi dari morfem-morfem imbuhan saja.
2.3 Kata
. Kata adalah satuan bebas yang paling kecil, atau dengan kata lain, setiap satu satuan bebas merupakan kata. Jadi satuan-satuan rumah, duduk, penduduk, kedudukan, dan sebagainya, masing-masing merupakan kata, karena masing-masing merupakan satuan-satuan bebas.
Satuan-satuan dari, kepada, sebagai, tentang, karena, meskipun, lah dan sebagainya, juga termasuk golongan kata. Satuan-satuan tersebut meskipun tidak mempunyai satuan bebas, tetapi secara gramatika mempunyai sifat bebas.
Satuan-satuan rumah makan, kamar mandi, kamar tidur, dan sebaginya sekalipun terdiri dari dua satuan bebas, juga termasuk golongan kata, karena satuan-satuan tersebut memiliki sifat sebagai kata, yang membedakan dirinya dari frase.
Berdasarkan contoh di atas jelas, bahwa kata itu dapat berupa morfem tunggal dan dapat berupa morfem kombinasi. Kata merupakan satuan yang lebih tinggi dari morfem, karena kata dapat dipergunakan secara langsung dalam tuturan, sedangkan morfem belum tentu.
Ditinjau dari fungsinya sebagai unsur tuturan, ada dua macam kata, yaitu kata yang langsung dapat dipergunakan sebagai unsur tuturan, dan yang lebih dahulu harus melaui proses morfemis. Yang pertama berupa morfem tunggal bebas, dan yang kedua berupa morfem tunggal terikat. Berangkat dari uraian di atas, kata juga dapat diklasifikasikan menjadi kata leksikal, kata morfologis, dan kata semantis.
Kata mempunyai dua macam satuan, yaitu satuan fonologik dan satuan gramatikal. Sebagai satuan fonologik, kata terdiri dari satu atau beberapa suku, dan suku terdiri dari satu atau beberapa fonem. Kata belajar, terdiri dari tiga suku, yaitu be, la, dan jar. Suku be terdiri dari dua fonem, suku la terdiri dari dua fonem, suku jar terdiri dari tiga fonem. Sebagai satuan gramatik, kata terdiri dari satu atau beberapa morfem. Kata belajar terdiri dari dua morfem, yaitu morfem ber- dan morfem ajar.
2.3.1Kelas Kata Bahasa Indonesia
Perasalahan kelas kata/jenis kata sering timbul dalam pembahasan-pembahasa ahli bahasa selama ini. Banyak ragam pembagian kata yang dikemukakan ahli bahsa sejak permulaan perkembangan linguistik moderen sekarang ini. Para ahli bahasa modern, terutama ahli bahasa struktural membagi kelas kata berdasarkan ciri-ciri struktural yang formal, baik secara morfologis maupun secara sintaktis, yaitu bentuk-bentuk yang memberi ciri khusus terhadap kata-kata dan hubungan kata-kata dengan kata lainnya dalam membentuk kalimat. Kelas kata pada umumnya dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok kata utama (content words) dan kata tugas (function words). Dalam pembahasan ini kelas kata utama bahasa Indonesia dibedakan atas (1) verba, (2) nomina, (3) adjektiva, dan kelas kata (4) tugas.
2.3.1.1Verba
Kata yang berkatagori verba dapat diamati dari (1) benatuk morfologis, (2) perilaku sintaksis, (3) perilaku semantisnya secara menyeluruh dalam kalimat. Di samping itu, dapat diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri berikut ini. (1) verba berfungsi utama sebagai predikat dalam kaliimat, walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain; (2) verba mengandung makna dasar perbuatan (aksi), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau keadaan yang buka sifat atau kualitas; dan (3) verba, khususnya bermakna keadaan, tidak daat diberi prefiks –ter yagn berarti paling. Ciri lain verba, dari perilaku dalam frasa, memiliki kemungkinan untuk didampingi partikel tidak, tidak dapat didampingi partikel di, ke, dari, atau dengan partikel seperti sangat, lebih, atau agak.
Berdasarkan ciri tersebut di atas, bahasa Indonesia pada dasarnya mempunyai dua macam bentuk verba, yakni:
(1) verba asal: verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaksis, seperti kata ada, datang, mandi pergi, tidurm tinggal, suka, tiba, tiba, turun, dan sebagainya;
(2) verba turunan: verba yang harus atua memakai afiks, bergantung pada tingkat keformalan bahasa/atau pada posisi sintaksisnya. Verba turunan dibagi menjadi tiga sub-kelompok, yakni (a) verba yang pada dasarnya adalah dasar bebas, tetapi memrlukan afiks supaya dapat berfungsi sebagai verba, seperti kata mendarat, melebar, menering, membesar, berlayar, bersepeda, bertelur, bersuami dan sebagainya; (b) verba yang dasarnya adalah verba bebas yang dapat pula memilii afiks (manasuka), seperti kata (mem)baca, (mem)beli, (meng)ambil, (be)kerja,(men)dengar, (ber)jalan, dan sebagainya; dan (c) verba yang dasarnya adalah dasar terikat, dan tentunya memerlukan afiks, seperti kata bertemu, bersua, menemukan, menyelenggarakan, mengungsi, berjuang, dan sebagainya.
Di samping itu, verba turunan dapat juga berupa reduplikasi (kata ulang), seperti kata berjalan-jalan, memukul-mukul, makan-makan, dan sebagainya, dan kata majemuk seperti kata naik haji, campur tangan, cuci muka, mempertanggungjawabkan, dan sebagainya.
2.3.1.2Nomina
Nomina yang sering juga disebut kata banda, dapat dilihat dari dua segi, semantis dan segi sintaksis. Dari segi semantis kita dapat mengatakan bahwa nomina adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian. Dengan demikian kata seperti guru, kucing, meja,dan kebangsaan adalah nomina. Dari segi sintaksisnya, mempuyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) dalam kalimat yang predikatnya verba, nomina cenderung menduduki fungsi subjek, dan objek atau pelengkap; (2) nomina tidak dapat dijadikan bentuk ingkar dengan tidak. Kata pengingkarnya adalah bukan dan tidak pernah kontras dengan tidak. Untuk mengingkarkan kalimat Dia itu guru harus dipakai kata bukan: Dia itu bukan guru; dan (3) nomina lazimnya dapat diikuti dengan adjektifa baik secara langsung maupun dengan perantara kata yang. Dengan demikian, buku dan rumah adalah nomina karena dapat bergabung menjadi buku baru, rumah mewah, atau buku yang baru dan rumah yang mewah.
Berdasarkan bentuknya, nomina dibedakan atas:
(1) nomina dasar, seperti gambar, meja, tahun, semangat, malam, minggu, kesatria, Farida, adik, bawah, itu, ini, Madura, selasa, dan sebagainya;
(2) nomina turunan (berafiks, berreduplikasi, hasil, gabungan, proses, yang berasak dari berbagai kelas, seperti: pembeli, bembelian, kotoran, pembuatan, persatuan, kekuatan, pemalas, pendorong, pendaftaran, perjanjian, rumah-rumah, siapa-siapa, sayur-mayur, surat-surat mobil-mobilan, tanah air, kutu buku, sepak bola, darah daging, dan sebagainya.
(3) nomina paduan leksem, seperti antarbangsa,, paranormal, multidisiplin, tritunggal, dan sebagainya.
Di samping nomina, sebagaimana diuraikan di atas ada nomina yang mengacu ke nomina yang lain. Nomina itu adalah (1) pronomina dan (2) nomeralia. Pronomina adalah kategori untuk menggantikan nomina. Ada tiga macam pronomina dalam bahasa Indonesia yaitu (1) pronomina persona, seperti saya, aku, dia, -nya, dia beliau, kami, saudara dan sebagainya, (2) pronomina petunjuk, seperti ini, itu, anu, sini, situ, sana, tersebut, dan sebagainya, dan (3) pronomina penannya, seperti kata apa, siapa, mana, kenapa, mengapa, bagaimana, kapan, dan sebagainya.
Nomeralia adalah kategori yang dapat (1) mendampingi monina dalam kontruksi sintaksis, (2) mempunyai potensi untuk mendampingi numeralia lain, (3) tidak bisa bergabung dengan kata tidak atau dengan sangat. Numeralia dikategorikan sebagai berikut: (1) numeralia utama/pokok, seperti kata nol, satu, sebelas, seratus, eka, catur, (2) numeralia tingkat, seperti kata kesatu atau pertama kedua, kesepuluh, dan sebagainya; (3) numeralia pecahan, sepeti kata seperdua, dua setengah, tiga perlima, dua koma lima, dan sebagainya.
Selanjutnya, bahasa Indonesia memiliki sekelompok kata yang membagi-bagi maujud dalam kategori tertentu menurut bentuk rupanya. Kategori tersebut disebut penggolongan nomina, seperti kata orang, ekor, buah, batang, bidang, bilah, utas dan sebagainya.
2.3.1.3 Adjektiva
Adjektiva yang disebut juga kata sifat atau kata keadaan, adalah kata yang dipakai untuk mengungkapkan sifat atau keadaan orang, benda, atau binatang. Adjektiva memiliki ciri antara lain (1) dapat dibeti keterangan pembanding, seperti kata lebih, kurang, dan paling: lebih besar, kurang baik, paling mahal, dan sebagainya; (2) dapat diberi keterangan penguat, seperti kata sangat, amat, benar, murah sekali, terlalu murah;(3) dapat diingkari dengan kata ingkar tidak, tidak bodoh, tidak salah, tidak benar, dan sebagainya; (4) dapat diulang dengan awalan se- dan akhiran -nya: sebaik-baiknya,serendah-rendahnya, sejelek-jeleknya; (5) pada kata tertentu dapat berakhir antra lain dengan –er, -(w), -iah, - if, -al, dan ik: nonorer, duniawi, ilmiah, negatif, formal, dan sebagainya.
Bentuk adjektiva, pada umumnya membentuk monomorfemis; artinya, terdiri atas satu morfem. Namun, ada pula adjektiva yang lebih sati morfem dan karena ini disebut polimorfemis. Berikut adalah contoh ajektiva yang monoforfemis, asin, anggun, cerah, matang, kurus, lama, mewah, lemah, murah, biru, besar, ramai, dan sebagainya.
Adjektiva yang polimorfemis dibentuk dengan tiga cara, yaitu (1) afiksasi proses pembubuhan afiks), (2) reduplikasi (proses pengulangan), (3) komposisi (pemaduan atau pemajemukan) dengan kata lain. Adjektiva yang berupa afiksasi, seperti alami, ilmiah, manusiawi, hewani, lahiriah, nabati, penakut, pemalas, pengecut, pemarah, pendendam, dan sebagainya. Contoh adjektiva yang berupa pemaduan dengan kata lain, seperti berat lidah, besar mulut, buta huruf, padat karya, ringan tangan, aman, tenteram, cantik jelita, dan sebagainya.
2.3.1.4 Kata Tugas (Function Words)
Kata tugas adalah segala macam kata yang tidak termasuk salah satu jenis kata (verba, nomina, adjektiva, maupun adverbia). Kata tugas hanya mempunyai arti gramatikal, tetapi tidak memiliki arti lesksikal. Ini berarti bahwa arti suatu kata tugas ditentukan bukan oleh suatu kata itu secara lepas, tetapi oleh kaitannya dengan kata lain dalam frasa atau kalimat. Cair lain dari kata tugas adalah bahwa hampir dari semua kata tugas tidak memiliki perubahan bentuk. Seperti hanya dalam bahasa-bahasa lain, kata tugas dalam bahasan Indoneisa tidak mudah terpengaruh ole bahasa asing.
Berdasarkan peranannya dalam frasa atau kalimat, kata tugas dibagi menjadi lima kelompok: (1) preposisi, (2) konjungsi, (3) interjeksi, (4) artikel, (5) partikel. Preposisi atau kata depan, adalah kata tugas yang bertugas sebagai unsur pembentuk frasa preposisional. Preposisi terletak pada bagian awal frasa dan unsur yang mengikutinya dapat berupa nomina, adjektiva, atau verba. Dengan demikian, dari nomina pasar dapat kita bentuk frasa preposisional ke pasar dan dengan mengail. Jika ditinjau dari bentuknya, preposisi dapat monomorfemis atau poliformis. Preposisi monomorfemis adalah preposisi yang terdiri hanya atas satu morfem dan karena itu tidak dapat diperkecil lagi bentuknya. Berikut adalah preposisi dalam bahasa Indonesia beserta beberapa fungsinya: (1) preposisi yang menandai hubungan peruntukan: bagi, untuk, buat, guna; (2) menandai hubungan asal, arah, dari suatu tempat, atau milik: dari; (3) menandai hubungan kesertaan atau cara: dengan; (4) menandai hubungan termpat berada: di; (5) menandai hubungan sebab; karena dan sebab; (6) menandai hubungan arah menuju suatu tempat: ke; (7) manandai hubungan pelaku atau yang dianggap pelaku: oleh; (8) menandai hubungan tempat atau waktu: pada; (9) menandai hubugan ikhwal peristiwa: tentang; dan (10) menandai hubunga waktu dari saat yang satu ke saat yang lain: sejak. Preposisi polimorfemis terdir atas dua macam: (1) yang dibentuk dengan memakai afiks, seperti selama, bagaikani dan (2) yang dibentuk dengan menghubungkan dua kata atau lebih, seperti selain dari dan sampai dengan/ke. Sedangkan preposisi poliforfemis, seperti kata dari pada, kepada, oleh karena, oleh sebab, sampai dengan/ke, selain dari.
Konjungsi atau kata penghubung adalah kata tugas yang menghubungkan dua klausa atau lebih. Dilihat dari segi perilaku sintaksisnya, konjungsi dibagi menjadi lima kelompok: (1) konjungsi Koordinatif, yaitu konjungsi yang menghubungkan dua unsur atau lebih dan kedua unsur itu memiliki status sintaksis yang sama, seperti, dan, atau, tetapi; (2) konjungsi sub koordinatif, yaitu konjungsi yang menghubungkan dua klausa atau lebih dan klausa itu tidak memiliki status sintaksis yang sama, seperti: sesudah, setelah, sementara, sambil, tatkala, sejak, sampai, jika, kalau, umpamannya, seakan-akan, sebab, sekalipun, supaya, dan sebagainya; (3) konjungsi korelatif yaitu konjungsi yang menghubungka dua kata, frasa, atau klausa; dan kedua unsur itu memiliki status sintaksis yang sama, seperti:
baik........... maupun.............
tidak hanya................ tetapi............
demikian rupa.......... sehingga...........; (4) konjungsi antar kalimat yang menghubungkan satu kalimat deengan kalimat yang lain, seperti biarpun demikian, meskipun demikian, lagi pula, sesungguhnya, dan sebagainya; (5) konjungsi antar paragraf, yaitu konjungsi yang digunakan untuk memulai suatu paragraf, seperti: ada pun, alkisah, dalam pada itu, akan hal, dan sebagainya.
Interjeksi atau kata seru adala kata tugas yang mengungkapkan rasa hati manusia. Untuk memperkuat rasa hati, sedih, herah, dan jijik, orang memakai kata tertentu disamping kalimat yang menganduang makna pokok yang dimaksud. Pada umumnya interjeksi mengacu ke sikap yang (a) negatif, (b) positif, (c) megambarkan keheranan, dan (d) netral atau bercampur, bergantung pada makna kalimat yang mengiringnya. Berikut ini adalah contoh-contoh interjeksi tersebu: cih, cis, idih, brengsek, aduhai, syukur, ayo, ai, wahai, astaga, dan sebagainya.
Partikel adalah kata tuga yang membatasi jumlah nomina. Dalam bahasa Indonesia ada tiga kelompok artikel (1) artikel yang menyatakan jumlah tunggal, seperti sang, sri, hang, dang; (2) artikel yang mengacu pada makana kelompok, seperti para; dan (3) artikel yang menyatakan maksud netral, seperti si.
Partikel adalah kata tugas yang berupa klitika kerena selalu diletakkan pada kata yang mendahuluinya. Partikel yang dimaksud adalah kah (bersifat manasuka), lah (digunakan dalam kalimat perintah), tah (dipakai dalam kalimat tanya.
3.Proses Morfologis
3.1 Pengertian Proses Morfologis
Proses morfologis ialah proses pembentukan kata-kata dari satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya (Ramlan, 1985). Lebih lanjut Ramlan mengatakan bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat tiga proses morfologis, yaitu (1) Afiksasi (proses pembubuhan afiks), (2) proses pengulangan, dan (3) proses pemajemukan. Sedangkan Kridalaksana (1996), mengatakan bahwa proses morfologis meliputi (1) Afiksasi, (2) reduplikasi, (3) komposisi, (4) abreviasi, (5) derivasi zero, (6) derevasi balik, dan (7) metanalisis.
3.2 Afiksasi (Proses Pembubuhan Afiks)
Afiksasi adalah proses mengubah leksem mejadi kata kompleks. Dalam proses ini, leksem (1) berubah bentuknya, (2) menjadi kategori kelas kata tertentu, (3) berubah maknanya. Ramlan (1985) bahwa afiksasi merupakan proses pembubuhan afiks pada suatu satuan, baik satuan berupa bentuk tunggal maupun bentuk kompleks.
Kata yang dibentuk dari satuan lain (kata lain) pada umumnya mengalami tambahan bentuk pada kata dasarnya. Kata seperti berjalan, bersepeda, bertiga, ancaman, gerigi, berdatangan terdiri atas enam bentuk dasar jalan, sepeda, tiga, ancam, gigi, dan datang, yang masing-masing dilekati bentuk yang berwujud ber-, ber-, ber-, -an, -er-, ber-an. Bentuk (morfem) terikat yang dipakai untuk menurunkan kata dinamakan afiks atau imbuhan. Atau dengan menggunakan konsep Ramlan (1985), afiks adalah suatu satuan gramatik terikat yang di dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata baru. Afiks yang dilekatkan di bagian muka suatu bentuk dasar disebut prefiks, seperti ber- pada kata berjalan, bersepeda, dan bertiga. Satuan atau morfem terikat, sperti ber-, meng,-, peng-, per- adalah prefiks atau awalan. Apabila satuan gramatik (morfem terikat), dilekatkan dibagian belakang kata, maka namanya sufiks atau akhiran, seperti –an pada kata ancaman, -kan pada kata dapatkan, -i pada kata dinamai. Infiks atau sisipan adalah afiks yang diselipkan di tengah bentuk dasar. Satuan seperti -er- dan -el- pada kata gerigi dan geletar adalah infiks atau sisipan. Gabungan prefiks dan sufiks yang membentuk suatu satuan disebut konfiks. Satuan berdatangan, misalnya, dibentuk dari bentuk dasar datang dan konfiks ber-an yang secara serentak diimbuhkan.
Sementara itu, Kridalaksana (1989) mengklasifikasikan dan menganalisis atas: (1) prefiks, (2) sufiks, (3) infiks, (4) konfiks, (5) simulfiks, (6) superfiks, (7) interfiks, (8) transfiks, dan (9) kombinasi afiks.
3.3 Proses Pengulangan (Reduplikasi)
Pengulangan satuan gramatikal, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak, disebut proses pengulangan (reduplikasi). Hasil pengulangan itu disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang disebut bentuk dasar. Ramlan (1985) mengemukakan beberapa ciri proses pengulangan, yaitu (1) pengulangan pada umumnya tidak mengubah kategori kelas kata (golongan kata), (2) proses pengulangan dapat dikembalikan pada bentuk dasarnya, (3) bentuk dasar dalam proses pengulangan selalu berupa satuan yang terdapat dalam penggunaan bahasa. Bentuk pengulangan berjalan-jalan, bentuk dasarnya adalah berjalan, berpacar-pacaran bentuk dasarnya adalah berpacaran, rumah-rumah bentuk dasarnya adalah rumah.
Satuan-satuan kemerah-merahan (adjektiva) bentuk dasarnya merah (adjektiva); rumah-rumah (nomina) bentuk dasarnya adalah rumah (nomina); kereta-keretaan (nominal) bentuk dasarnya adalah kereta (nomina); berlari-lari (verba) bentuk dasarnya adalah berlari (nomina). Berdarkan contoh-contoh tersebut dapat dikatakan bahwa bentuk dasar bagi kata ulang yang termasuk kelas kata nomina, berupa kata nomina; bentuk dasar bagi kata ulang yang termasuk kelas kata verba, berupa kata verba; bentuk dasar bagi kata ulang yang termasuk kelas kata adjektiva, berupa kata adjektiva.
Proses pengulangan dalam bahasa Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
(1) Pengulangan seluruhnya (penuh), yaitu pengulangan seluruh bentuk dasar, tanpa perubahan fonem dan tidak berkombinasi dengan pembubuhan afiks, seperti sepeda-sepeda, buku-buku, kebaikan-kebaikan, rumah-rumah, dan sebagainya;
(2) Pengulangan sebagian, yaitu pengulangan sebagian dari bnetuk dasarnya. Di sini bentuk dasar dari kata ulang itu tidak diulang seluruhnya. Hampir semua bentuk dasar yang termasuk pengulangan ini berupa bentuk kompleks, misalnya kata mengambil menjadi mengambil-ambil, melambaikan menjadi melambai-lambaikan, membaca menjadi membaca-baca;
(3) Pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, yaitu pengulangan yang mengulang seluruh bentuk dasar dan berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks. Artinya, pengulangan terjadi bersama-sama dengan proses pembubuhan afiks, misalnya kereta-keretaan, mobil-mobilan, kuda-kudaan, dan sebagainya;
(4) Penguangan dengan perubahan fonem, misalnya bolak-balik, gerak-gerik, serba serbi, lauk-pauk, sayur mayur, dan sebagainya.
Kridalaksana (1996) mengklasifikasi proses pengulangan atas tiga bentuk. Ketiga bentuk pengulangan tersebut sebagaimana diuraikan berikut ini.
(1) Proses pengulangan fonologis, yaitu pengulangan yang bersifat fonologis, tidak ada penglangan leksem, seperti dada, pipi, paru-paru, kuku, dan sebagainya;
(2) Proses pengulangan morfemis, yaitu pengulangan yang mengalami perubahan makna gramatikal atas leksem yang diulang. Pengulangan morfemis inilah yang menjadi pembicaraan dalam kajian morfologi; dan
(3) Proses pengulangan sintaksis, yaitu proses pengulangan yang terjadi atas leksem yang menghasilkan satuan yang berstatus klausa. Jadi, berada di luar cakupan kajian morfologi, seperti satuan jauh-jauh datang juga orang itu, Asam-asam dimakan juga.
Di sisi lain Kridalaksana juga membagi proses pengulangan atas:
(1) Pengulangan dwipurwa, yaitu pengulangan suku pertama pada leksem pelemahan vokal, seperti tetangga, lelaki, tetamu, sesama, dan sebagainya;
(2) Pengulangan dwilingga, yaitu pengulangan leksem, seperti rumah-rumah, makan-makan, pagi-pagi, kuda-kuda, dan sebagainya;
(3) Pengulangan dwilingga salin swara, yaitu pengulangan leksem dengan variasi fonem, seperti modar-mandir, pontang-panting, bolak-balik, corat-coret, dan sebagainya;
(4) Pengulangan dwiwasana, yaitu pengulangan bagian belakang dari leksem, seperti pertama-tama, perlahan-lahan, sekali-kali, dan sebagainya; dan
(5) Pengulangan trilingga, yaitu pengulangan dengan anamatope tiga kali dengan variasi fonem, seperti dag-dig-dug, cas-cis-cus, dar-dir-dor, ngak-ngek-ngok, dan sebagainya.
3.4Pemajemukan (Kompositum)
Pemajemukan merupakan pemaduan dua kata atau lebih yang membentuk satu kata. Karena membentuk satu kata, maka maknanya pun satu. Dalam istilah tatabahasa tradisional istilah pemadun lebih dikenal dengan nama pemajemukan. Dalam bahasa Indonesia pemaduan satuan-satuan kata untuk membentuk satu kata sangat produkatif, khusussnya dalam pembentukan istilah-istilah baru. Ramlan (1985) menyatakan bahwa kata majemuk ialah kata yang terdiri dari dua kata atau lebih sebagai unsurnya. Di samping itu, ada juga kata majemuk yang terdiri dari satu kata dan satu pokok kata, sebagai unsurnya, misalnya daya tahan, daya juang, kamar tunggu, kamar kerja, ruang baca, tenaga kerja, kolam renang, jarak tembak, ikat pinggang, dan ada pula yang terdiri dari pokok kata semuanya, seperti lomba lari, jual beli, simpan pinjam, dan masih banyak lagi.
Kridalaksana (1996) mengatakan bahwa pemajemukan (komposisi) adalah proses penggabungan dua leksem atau lebih yang membentuk kata. ”Output” proses itu disebut paduan leksem atau kompositum yang menjadi calon kata majemuk. Deskripsi Kridalaksana ini menempatkan kata majemuk sebagai satuan yang berbeda dari frasa. Frasa adalah gabungan kata bukan gabungan leksem. Yang mengolah kata-kata hingga menjadi frasa adalah proses sintaktis, sedangkan kata majemuk merupaka proses morfologis. Lebih lanjut Kridalaksana mendeskripsi perbedaan kata majemuk dan frasa sebagai berikut.
(1)Ketaktersisipan; artinya di atara unsur-unsur kata majemuk (kompositum) tidak dapat disisipi apa pun. Sapu tangan, rumah sakit, kursi malas adalah kata majemuk, karena tidak dapat disipi apa pun. Sedangkan anak malas, alat negara, sapu lidi merupakan frasa, karena dapat disisipi partikel dari atau yang atau untuk, menjadi anak yang malas, alat dari negara, dan sapu dari lidi. Satuan kamar mandi kelihatannya sama dengan orang mandi. Keduanya terdiri dari nomina dan verba, tetapi jika kita teliti dengan benar, ternyata kedua satuan itu berbeda. Pada orang mandi kata orang dapat diikuti kata itu, misalnya orang itu mandi, dan kata mandi dapat didahului kata sedang, akan, sudah menjadi orang itu sedang mandi, orang itu akan mandi, orang itu sudah mandi. Dengan kata lain, unsur-unsur dalam orang mandi dapat disisipi atau dipisahkan. Berbeda dengan unsur-unsur dalam kamar mandi yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian satuan kamar mandi merupakan kata majemuk.
(2)Ketakterluasan; artinya unsur-unsur kata majemuk (komsitum), masing-masing tidak dapat diafiksasikan atau dimodifikasikan. Perluasan untuk kata majemuk hanya mungkin untuk semua kompnennya sekaligus. Misalnya, kereta api dapat dimodifikasi menjadi perkeretaapian.
(3)Ketidakterbalikan; artinya unsur-unsur kata majemuk (kompositum) tidak dapat dipertukarkan. Gabungan seperti bapak ibu, pulang pergi, dan lebih kurang, tidak digolongan kata majemuk, melainkan frasa koordinatif karena dapat dibalikkan (gabungan kata semacam ini memberi kesempatan kepada penutur untuk memilih mana yang akan didahulukan). Konstruksi seperti hutan belantara, bujuk rayu bukanlah frasa, melainkan kata majemuk.
3.5 Derivasi Zero
Derivasi Zero merupakan proses morfologis yang tidak terjadi perubahan bentuk. Jadi dalam derivasi zero ini leksem menjadi kata tunggal, misalnya kata makan, minum, mohon, dan lain-lain.
3.6 Derivasi Balik
Derivasi balik merupakan proses morfologis yang inputnya satuan tunggal dan outputnya adalah kata kompleks. Proses pembentukan ini karena bahasawan yang dengan sengaja membentuknya berdasarkan pola-pola yang ada tanpa mengenal unsur-unsurnya. Akibatnya terjadi bentuk yang secara historis tidak diramalkan, misalnya, kata pungkir dalam dipungkiri yang dipakai orang karena mengira bentuk itu merupakan padanan pasif dari kata memungkiri (padahal kata pungkir tidak ada dalam bahasa Indonesia, yang ada adalah mungkir yang berasal dari bahasa Arab). Demikian juga kata ketik dan pengapakan.
3.7 Abreviasi (Pemendekan)
Abreviasi (pemendekan) merupakan proses morfologis yang berupa penanggalan satu atau beberapa satuan kata atau kombinasi kata, sehingga membentuk kata baru. Istilah lain untuk abreviasi adalah pemendekan, sedang hasil prosesnya disebut kependekan. Ada beberapa jenis abreviasi, sebagaimana diuraikan berikut ini.
(1) Pemenggalan, yaitu proses pemendekan yang mengekalkan salah satu bagian kata atau leksem, seperti Prof. (profesor), Bu (Ibu), Pak (Bapak), dan sebagainya.
(2) Kontraksi, yaitu proses pemendekan yang meringkaskan kata atau leksem dasar atau gabungan kata atau leksem dasar, seperti tak (dari tidak), takkan (dari tidak akan), berdikari (dari berdiri di atas kaki sendiri), rudal (dari peluru kendali), dan sebagainya;
(3) Akronim, yaitu pembentukan kata melalui penggabungan huruf-huruf awal urutan kata atau bagian tertentu dari kata-kata yang berurutan, misalnya kata raker (rapat kerja), rapim (rapat pimpinan), Polwan (Polisi Wanita), dan sebagainya dan
(4) Penyingkatan, yaitu salah satu proses pemendekan berupa huruf atau gabungan huruf, baik yang dieja huruf demi huruf, seperti KKN (Kuliah Kerja Nyata), DKI (daerah Khusus Ibukota), DPR (dewan Perwakilan Rakyat, dsb (dan sebagainya), dll (dan lain-lain).
(5) Lambang Huruf, yaitu proses pemendekan yang menghasilkan satu huruf atau lebih yang menggambarkan konsep dasar kuantitas, satuan, atau unsur, seperti Kg. (Kilogram), g (gram), cm (Sentemeter), dan sebagainya.
4.Proses Morfofonemik
Morfofonemik adalah suatu kajian tentang perubahan-perubahan pada fonem yang disebabkan oleh hubungan antara dua morfem atau lebih. Morfofonemik merupakan subsistem yang menghubungkan morfologi dan fonologi. Di dalamnya dipelajari bagaimana morfem yang direalisasikan dalam tingkat fonologi. Proses morfofonemik merupakan peristiwa fonologis yang terjadi karena pertemuan morfem dengan morfem. Proses morfofonemik dalam bahasa Indonesia hanya terjadi dalam realisasi pertemuan morfem dasar dengan realisasi afiks, baik prefiks, sufiks, infiks maupun konfiks.
Dalam bahasa Indonesia yang terkenal ialah perubahan-perubahan fonem nasal yang berwujud /m/ di depan fonem /b/, /p/, /m/, /t/, /d/, /j/, /c/ dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia sedikitnya terdapat tiga proses morfofonemik, yaitu (1) proses perubahan fonem, (2) proses penambahan fonem, dan (3) proses hilangnya fonem.
4.1 Proses Perubahan Fonem
Proses perubahan fonem, misalnya terjadi sebagai akibat pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasarnya. Fonem /N/ pada kedua morfem itu berubah menjadi /m, n, n, n/, hingga morfem meN- menjadi mem-, men-, meny-, dan meng-, dan morfem peN- berubah menjadi pem-, pen-, peny-, peng-. Perubahan itu terhgantung pada bentuk dasar yang mengikutinya.
(1) Fonem /N/ pada morfem meN- dan peN- berubah menjadi fonem /m/ apabila bentuk dasar yang mengikutinya berawal dengan /p, b, f/, misalnya meN + paksa menjadi memaksa; peN- + periksa menjadi pemeriksa; meN- + bantu menjadi membantu; peN- + bantu menjadi pembantu; meN- + fitnah menjadi memfitnah; peN- + fitnah menjadi pemfitnah. Contoh lain seperti berikut ini.
/meN-/ + /bawa/ /membawa/
/meN-/ + /produksi/ /memproduksi/
/meN-/ + /fatwa/ /memfatwakan/
(2) Fonem /N/ pada meN- dan peN- berubah menjadi fonem /n/ apabila bentuk dasar yang mengikuti berawal dengan fonem /t, d, s/, misalnya meN- + tulis menjadi menulis; peN- + tulis menjadi penulis; meN- + dapat menjadi mendapat; peN- + dapat menjadi pendapat; meN- + Sukses menjadi mensukseskan. Perhatikan contoh lain berikut ini.
/meN-i/ + /taat/ /mentaati/
/meN-/ + /duga/ /menduga/
/meN-/ + /sinyalir/ /mensinyalir/
(3) Fonem /N/ pada morfem meN- dan peN- berubah menjadi /n/ apabila bentuk dasar yang mengikutinya berawal dengan /s, s, j, c/ , misalnya meN- + sapu menjadi sapu; peN + sapu menjadi penyapu; meN- + jual mejadi menjual; peN- + jual menjadi penjual; meN- + coba menjadi mencoba; peN- + curi menjadi pencuri Perhatikan contoh lain berikut ini.
/peN-/ + /sulu/ /penyuluh/
/meN-i/ + /suka/ /menyukai/
/meN- + /jahit/ /menjahit/
(4) Fonem /N/ pada meN- dan peN- berubah menjadi /n/ apabila bentuk dasar yang mengikutinya berawal dengan fonem /k, g, x, h, dan vokal/, misalnya meN- + kacau menjadi mengacau; peN- + kacau menjadi pengacau; meN- + garis menjadi menggaris; peN- + garis menjadi penggaris; meN- + angkut menjadi mengangkut; peN- + angkut menjadi pengangkut; meN- + hukum menjadi menghukum; peN- + hukum menjadi penghukum. Perhatikan contoh lain berikut ini.
/meN-/ + /kutip/ /mengutip/
/meN- + /gaji/ /menggaji/
/meN-/ + / hasut/ /menghasut/
/meN-i/ + /hianat/ /menhianati/
4.2 Proses Penambahan Fonem
Proses penambahan fonem, terjadi sebagai akibat pertemuan meN- dengan bentuk dasarnya yang terdiri dari satu suku. Fonem tambahannya adalah /e/ , sehingga meN- berubah menjadi menge-. Perhatikan contoh berikut ini.
/meN-/ + / bom/ menjadi /mengebom/;
/peN-/ + / cat/ menjadi /pengecat/;
/meN-/ + / bor/ menjadi /mengebor/;
/ peN-/ + / bor menjadi /pengebor/
/pe-an/ + /tik/ menjadi /mengetik/.
Akibat pertemuan morfem –an, ke-an, peN-an dengan bentuk dasarnya, terjadi penambahan fonem /?/ apabila bentuk dasarnya berakhir dengan vokal /a/, penambahan /w/ apabila bentuk dasarnya itu berakhir dengan /u, o, aw/, dan terjadi penambahan /y/ apabila bentuk dasar itu berakhir dengan /i, ay/, misalnya -an + hari menjadi hari an; ke-an + raja menjadi keraja?an; peN-an + temu menjadi pertemu an; peN- an + ada menjadi pengada?an; dan sebagainya. Perhatiakan contoh berkut ini.
/ke-an/ + /pulau /kepula an/
/ -an/ + /serbu/ /serbu an/ Penambahan fonen /w/
/per-an/ + /took/ /pertoko an/
/ke-an/ + /tinggi/ /ketinggi an/
/ -an/ + /tepi/ /tepi an/ Penambahan fonem /y/
/pe-an/ + /nanti/ /penanti an/
4.3 Proses Hilangnya Fonem
Proses hilangnya fonem /N/ pada meN- dan peN- terjadi sebagai akibat pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /l, r, y, w, dan nasal/, misalnya meN- + lerai menjadi melerai; peN- + lerai menjadi pelerai; meN- + rusak menjadi merusak; peN- + rusak menjadi perusak; meN- + wakil menjadi mewakili; peN- + waris menjadi pewaris; meN- + yakin menjadi meyakinkan; peN- + lupa menjadi pelupa; dan sebagainya.
Fonem /r/ pada morfem ber-, per-, dan ter- hilang sebagai akibat pertemuan morfem-morfem itu dengan bentuk dasar yang berawal dengan /r/ dan bentuk dasar yang suku pertamanya berakhir /er/, misalnya ber- + rantai menjadi berantai, ber- + ternak menjadi beternak; per- + raga menjadi peraga; ter- + rasa menjadi terasa; dan sebagainya.
Fonem-fonem /p, t, s, k/ pada awal morfem hilang akibat pertemuan dengan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem-fonem itu, misalnya meN- + pakai menjadi memakai; meN- + tulis menjadi menulis; peN- + pakai menjadi pemakai; meN- + karang menjadi mengarang; peN- karang menjadi pengarang, dan sebagainya. Perhatikan contoh lain berikut ini.
/’anak/ + /-nda/ /ananda/ /k/
/sejarah/ + /wan/ /sejarawan/ /h/
/’ilmiah/ + / wan/ / ’ilmiawan/ /h/
/ber-/ + /rumah/ /berumah/ /t/
/per-an/ + /raya/ /perayaan/ /r/
/ter-/ + /perdaya/ /terpedaya/ /r/
/meN-kan/ + /kirim/ /mengirimkan/ /k/ luluh
/meN-i/ + /kirim/ /mengirim/ /k/ luluh
/meN-/ + /tangkap/ /menangkap/ /t/ luluh/
/meN- + /pakai/ /memakai/ /p/ luluh
Daftar Rujukan
Alwasilah, A. Chaedar. 1992. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik.
Bandung: Angkasa.
Kridalaksana, Harimurti. 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Purwo, Bambang Kaswanti (Ed.). 2000. Kajian Serba Linguistik untuk Anton
Moliono Pereksa Bahasa. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia
Atmajaya.
Ramlan, M. 1985. Ilmu Bahasa Indonesia Morfologi suatu Tinjauan Deskriptif.
Yokyakarta. C.V. Karyono.
Rusyana, Yus dan Samsuri (eds.). 1983. Pedoman Penulisan Tatabahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sampson, Geoffrey. 1980. Schools of Linguistics Competition and Evaluation.
London: Hutchinson.
Samsuri. 1988. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
P2LPTK.
Samsuri. 1987. Analisis Bahasa: Memahami Bahasa Secara Ilmiah. Jakarta:
Erlangga.
Dardjwidjojo, Soenjono. 1983. Beberapa Aspek Linguistik Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Wahab, Abdul. 1990. Butir-butir Linguistik. Surabaya: Airlangga University
Press.
Wahab, Abdul. 1991. Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya:
Airlangga University Press.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar