Oleh: Septia Sugiarsih, Universitas Negeri Yogyakarta
Pendahuluan
Keterampilan menyimak tidak dapat dipisahkan dari keterampilan berbahasa yang lain, yaitu keterampilan berbicara, membaca, dan menulis (Sriyono, 2009). Keberhasilan seseorang dalam menyimak dapat diketahui dari bagaimana penyimak memahami dan menyampaikan informasi dari simakan secara lisan atau tertulis. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan menyimak cukup kompleks jika penyimak ingin menangkap makna yang sesungguhnya dari simakan yang mungkin tidak seutuhnya tersurat, sehingga penyimak harus berusaha mengungkapkan hal-hal yang tersirat.
Hal ini dapat dilihat dari peranan keterampilan menyimak terhadap keterampilan berbahasa. Sriyono (2009) mengatakan peranan menyimak sebagai berikut (1) keterampilan
menyimak merupakan dasar yang cukup penting untuk keterampilan berbicara, karena apa yang akan kita ucapkan dalam berbicara merupakan hasil simakan dari pembicaraan orang lain; (2) keterampilan menyimak juga merupakan dasar bagi keterampilan membaca atau menulis. Ini berarti bahwa informasi yang kita peroleh dari menyimak sebagai bekal kita untuk bisa memahami apa yang dituliskan orang lain lewat tulisan. Informasi yang kita peroleh dari menyimak juga sebagai bekal kita dalam melakukan kegiatan menulis, karena apa yang kita tulis itu bisa bersumber dari informasi yang telah kita simak. (3) penguasaan kosakata pada saat menyimak akan membantu kelancaran membaca dan menulis. Sejalan dengan pendapat Sriyono, Sabarti Akhadiah (1993:149) mengemukakan bahwa peranan menyimak sebagai berikut; (1) dasar berlajar berbahasa; (2) penunjang keterampilan berbicara, membaca, dan menulis; (3) pelancar komunikasi lisan; (4) penambah informasi atau pengetahuan.
Proporsi kegiatan menyimak dalam proses pembelajaran bahasa lebih besar jika dibandingkan dengan kegiatan berbahasa lainnya. Seorang ahli Amerika Serikat, Birt (Haryadi, 1997:17) telah melakukan penelitian tentang kegiatan menyimak mahasiswa Stephen College Girls. Hasil yang diperoleh adalah 42% untuk kegiatan menyimak, 25% kegiatan berbicara, 15% kegiatan membaca, dan 18% untuk kegiatan menulis. Hal ini berarti bahwa dalam berbagai kegiatan pada umumnya hanya sebagian kecil orang yang dapat menggunakan kesempatan untuk berperan sebagai pembicara, dan jauh lebih besar yang menjadi penyimak.
Hasil penelitian Birt ini didukung oleh Rankin (Cox, 1998:151) yang menyatakan bahwa dalam kehidupan suatu masyarakat dijumpai porsi kegiatan: 45% untuk menyimak, 30% untuk berbicara, 16% untuk membaca, dan hanya 9% untuk menulis. Dari hasil penelitian Rankin ini membuktikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari pun kita tidak pernah lepas dari kegiatan menyimak, seperti menyimak cerita, berita, laporan, iklan, petunjuk dan lain-lain.
Walaupun kegiatan menyimak merupakan kegiatan yang dominan dan memiliki peran yang sangat besar, namun pembelajaran menyimak di sekolah sampai sekarang kurang mendapat perhatian dan terkesan kurang penting karena tidak diujikan dalam Ujian Akhir Nasional (Chastain lewat Hairuddin,dkk., 2007:3-5). Lebih lanjut dijelaskan bahwa guru-guru pada umumnya berasumsi bahwa keterampilan menyimak dengan sendirinya dapat berkembang dari belajar berbicara. Kegiatan pembelajaran keterampilan menyimak masih sering diabaikan karena banyak orang yang menganggap bahwa menyimak merupakan
kemampuan yang sudah dimiliki manusia sejak lahir. Bahkan dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, tidak semua orang mampu menyimak dengan baik. Hal itu mengindikasikan bahwa selama ini keterampilan menyimak kurang mendapatkan perhatian.
Mengingat peranan menyimak dalam proses belajar berbahasa sangat besar, maka diperlukan suatu teknik yang efektif dalam pembelajaran keterampilan menyimak. Teknik pembelajaran merupakan hal yang penting dalam pembelajaran menyimak, khususnya pembelajaran menyimak di sekolah dasar. Dengan teknik yang efektif, pembelajaran menyimak akan mencapai tujuan yang diharapkan.
Salah satu teknik yang dapat diterapkan dalam pembelajaran keterampilan menyimak adalah teknik paired storytelling atau cerita berpasangan. Teknik paired storytelling atau cerita berpasangan merupakan salah satu teknik pembelajaran dalam pendekatan cooperative teaching learning. Dengan teknik cerita berpasangan ini kegiatan belajar mengajar sepenuhnya dilakukan oleh siswa. Guru hanya sebagai fasilitator, motivator, dan mediator dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
Sebuah cerita dapat mengandung berbagai pendidikan moral yang berupa pesan atau amanat. Melalui cerita guru dapat memberikan penanaman nilai-nilai moral kepada siswa, tetapi fenomena yang terjadi di tingkat sekolah dasar, cerita cenderung digunakan guru hanya sebagai selingan bagi siswa.
Selama ini pembelajaran keterampilan menyimak yang dilakukan para guru cenderung menganjurkan siswa untuk bekerja sendiri tanpa ada unsur bekerja sama dengan siswa lain. Padahal, pembelajaran dengan cara siswa bekerja sendiri tanpa ada unsur bekerja sama dengan siswa lain ini dapat menimbulkan sifat individualistis. Siswa yang satu menganggap siswa yang lain adalah saingan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan teknik pembelajaran yang dapat meningkatkan kerja sama antarsiswa dalam kegiatan mereka di kelas. Teknik yang dapat digunakan adalah teknik cerita berpasangan. Teknik ini lebih menekankan daya simak siswa karena hasil simakannya akan dipertanggungjawabkan kepada pasangannya. Semakin baik daya simak siswa, materi yang disampaikan guru akan semakin mudah dipahami siswa.
Pengertian Menyimak
Menyimak merupakan aktivitas yang penuh perhatian untuk memperoleh makna dari sesuatu yang kita dengar. Dalam kegiatan menyimak, seorang penyimak harus mampu menangkap dan memahami maksud pembicara. Lebih lanjut ia juga menyebutkan bahwa
mendengarkan merupakan kegiatan yang pasif, sedangkan menyimak merupakan kegiatan yang aktif (Underwood, 1989:1-2).
Tompkins dan Hosskisson (1993:82-83) mengemukakan tentang kegiatan menyimak sebagai berikut:
Listening is elusive because it occours internally. Listening as the “most mysterious language process. In fact, teachers often do not know whether listening has occured until they ask student students to apply what they have listened to through discussions, projects, and other assigments. Even then, there is no guarantee that the students’ responses indicate that they have listened, because they may have known the material before listening or may have learned it from someone else at about the same time. Listening is a complex, multistep process “by which spoken language is converted to meaning in the mind”. As this definition suggests, listening is more than just hearing, even though children and adults often use the two terms hearing and listening synonymously. Rather hearing is an integral component, but only one component, of the listening process. The crucial part is thinking or converting to meaning what one has heard.
Dinyatakan demikian karena pelajar atau peserta didik yang tampak dengan serius menyimak belum tentu memahami isi simakan. Sementara itu, pelajar atau peserta didik yang menyimak sambil melakukan aktivitas lain, misalnya membaca, ternyata ketika diberi pertanyaan mampu menanggapi secara tepat. Kata hearing “mendengarkan” sebenarnya hanya merupakan bagian dari menyimak. Penentuan demikian sesuai dengan konsepsi bahwa dalam menyimak juga berlangsung kegiatan berpikir dan merekonstruksi makna sesuai dengan tangkapan bunyi ujaran dan skemata penyimaknya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keterampilan menyimak cerita anak adalah kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan yang dilakukan dengan sengaja, penuh perhatian disertai pemahaman, apresiasi dan interpretasi untuk memperoleh pesan, informasi, memahami makna komunikasi dan merespon yang terkandung dalam cerita sederhana yang ditulis untuk anak yang berbicara mengenai kehidupan, ekspresi untuk anak-anak dan sekeliling yang mempengaruhi anak.
Tujuan Jenis Menyimak
Tujuan Menyimak
Menurut Ice Sutari, dkk. (1997:22-26), tujuan menyimak dapat dibagi sebagai berikut.
1. Mendapatkan fakta
Kegiatan menyimak dengan tujuan memperoleh fakta di antaranya melalui kegiatan membaca, baik melalui majalah, koran, maupun buku-buku. Selain itu, mendapatkan fakta melalui radio, televisi, pertemuan, menyimak ceramah-ceramah, dan sebagainya.
2. Menganalisis fakta
Maksud dari menganalisis fakta yaitu proses menaksir kata-kata atau informasi sampai pada tingkat unsur-unsurnya, menaksir sebab akibat yang terkandung dalam fakta-fakta itu.
3. Mengevaluasi fakta
Penyimak yang kritis akan mempertanyakan hal-hal mengenai nilai fakta-fakta itu, keakuratan fakta-fakta tersebut, dan kerelevanan fakta-fakta tersebut. Setelah itu, pada akhirnya penyimak akan memutuskan untuk menerima atau menolak materi simakannya itu. Selanjutnya penyimak diharapkan dapat memperoleh inspirasi yang dibutuhkannya.
4. Mendapatkan inspirasi
Inspirasi sering dipakai alasan oleh seseorang untuk menyimak suatu pembicaraaan. Kita menyimak bukan untuk memperoleh fakta saja melainkan untuk memperoleh inspirasi. Kita mendengarkan ceramah atau diskusi ilmiah semata-mata untuk tujuan mendapatkan inspirasi atau ilham.
5. Mendapatkan hiburan
Hiburan merupakan kebutuhan manusia yang cukup mendasar. Dalam kehidupan yang serba kompleks ini kita perlu melepaskan diri dari berbagai tekanan, ketegangan, dan kejenuhan. Kita sering menyimak radio, televisi, film layar lebar antara lain untuk memperoleh hiburan dan mendapatkan kesenangan batin. Karena tujuan menyimak di sini untuk menghibur, maka pembicara harus mampu menciptakan suasana gembira dan tenang. Tujuan ini akan mudah tercapai apabila pembicara mampu menciptakan humor yang segar dan orisinil yang mengakibatkan penyimak menunjukkan minat dan kegembiraannya. Karena itu pembicaraan semacam ini disebut bersifat rekreatif.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran menyimak cerita anak mempunyai tujuan supaya siswa belajar agar memperoleh pengetahuan, mengevaluasi agar dapat menilai, mengapresiasi materi simakan, dan mendapatkan hiburan melalui cerita anak. Dengan tujuan tersebut siswa akan memahami unsur-unsur yang terkandung dalam cerita anak yaitu tokoh dan perwatakan, latar, serta tema dan amanat cerita anak.
Jenis Menyimak
Kegaiatan menyimak tampak dalam kegiatan sehari-hari dalam bentuk yang beraneka ragam. Makin maju kehidupan sosial makin bervariasi bentuk itu. Keanekaragaman itu disebabkan oleh adanya beberapa titik pandang yang kemudian dijadikan landasan pengklasifikasian menyimak.
Sedangkan menurut Tarigan (1990:29), jenis menyimak diklasifikasika menjadi dua, yaitu: menyimak ekstensif, dan menyimak intensif. Adapun penjelasan setiap tingkatan jenis menyimak sebagai berikut.
1. Menyimak Ekstensif
Menyimak ekstensif adalah menyimak untuk memahami materi simakan hanya secara garis besar saja. Penyimak memahami isi bahan simakan secara sepintas, umum dalam garis-garis besar, atau butir-butir penting tertentu. Kegiatan menyimak ekstensif lebih bersifat umum dan tidak perlu di bawah bimbingan langsung dari guru. Penggunaan yang paling dasar adalah menangkap atau mengingat kembali bahan yang telah diketahui dalam suatu lingkungan baru dengan cara yang baru. Bahan yang dapat digunakan berupa bahan pelajaran yang baru saja diajarkan atau yang telah diajarkan.
Menyimak jenis ini memberi kesempatan dan kebebasan para siswa menyimak kosakata dan struktur-struktur yang masih asing. Tujuan menyimak ekstensif adalah menyajikan kembali bahan pelajaran dengan cara yang baru. Menyimak ekstensif meliputi menyimak sosial, menyimak sekunder, menyimak estetik, dan menyimak pasif.
2. Menyimak Intensif
Menyimak intensif adalah menyimak dengan penuh perhatian, ketekunan dan ketelitian sehingga penyimak memahami secara mendalam dan menguasai secara luas bahan simakan. Penyimak memahami secara terperinci, teliti, dan mendalam bahan yang disimak. Kegiatan menyimak intensif lebih diarahkan dan dikontrol oleh guru. Bahan yang dapat digunakan berupa berupa leksikal maupun gramatikal. Untuk itu, perlu dipilih bahan yang mengandung ciri ketatabahasaan tertentu dan sesuai dengan tujuan. Selain itu, guru juga perlu memberikan latihan-latihan yang sesuai dengan tujuan. Menyimak intensif mencakup menyimak kritis, menyimak konsentratif, menyimak kreatif, menyimak eksploratori, menyimak introgatif, dan menyimak selektif. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk melatih menyimak intensif adalah menyuruh siswa menyimak tanpa teks tertulis, seperti mendengarkan rekaman.
Menyimak cerita anak termasuk jenis menyimak intensif. Para siswa menyimak dengan mencatat kata atau frase penting bahan yang disimak. Hal itu dimaksudkan agar siswa dapat memahami apa yang disimaknya dengan baik. Pemahaman tersebut sangat berguna dalam kegiatan berdiskusi, mengenai apa yang disimaknya. Kegiatan menyimak tersebut diarahkan dan dikontrol oleh guru.
Tahap-Tahap Menyimak Cerita Anak
Sabarti Akhadiah (1993:149) menyebutkan tahap-tahap menyimak sebagai berikut.
1. Tahap Mendengarkan.
Pada tahap ini kita baru mendengar segala sesuatu yang dikemukakan oleh pembicara dalam ujaran atau pembicaraannya. Jadi kita masih berada dalam tahap hearing.
2. Mengidentifikasi.
Penyimak mengidentifikasi segala sesuatu yang dikemukakan oleh pembicara dalam ujaran atau pembicaraanya.
3. Tahap Menginterpretasi.
Penyimak yang baik, yang cermat dan teliti, belum puas kalau hanya mendengar dan memahami isi ujaran sang pembicara. Dia ingin menafsirkan atau menginterpretasikan isi, butir-butir pendapat dan tersirat dalam ujaran itu. Dengan demikian maka sang penyimak telah tiba pada tahap interpreting.
4. Tahap Memahami.
Setelah kita mendengar maka ada keinginan bagi kita untuk mengerti atau memahami dengan baik isi pembicaraan yang disampaikan yang disampaikan oleh pembicara, maka sampailah kita dalam tahap understanding.
5. Tahap Mengevaluasi atau menilai.
Setelah memahami serta dapat menafsir atau menginterpretasikan isi pembicara, sang penyimak pun mulailah menilai atau mengevaluasi pendapat serta gagasan sang pembicara, keunggulan dan kelemahan, kebaikan dan kekurangan sang pembicara, maka dengan demikian sudah sampai pada tahap evaluating.
6. Tahap Menanggapi atau mereaksi.
Merupakan tahap terakhir dalam kegiatan menyimak. Sang penyimak menyambut, mencamkan, menyerap serta menerima gagasan atau ide yang dikemukakan oleh sang
pembicara dalam ujaran atau pembicaraannya. Sang penyimak pun sampailah pada tahap menanggapi (responding).
Jadi tahap-tahap menyimak cerita anak menurut Sabarti dianggap sesuai dengan perkembangan psikologis anak usia Sekolah Dasar yaitu tahap mendengarkan cerita anak, mengidentifikasi kata-kata kunci cerita anak, menginterpretasi cerita anak, memahami isi cerita anak mengevaluasi atau menilai cerita anak, dan menanggapinya.
Pemilihan Teknik Pembelajaran Keterampilan Menyimak
Pemilihan teknik pembelajaran menyimak haruslah sesuai dengan kondisi dan keadaan siswa. Pemilihan teknik harus dilakukan secara cermat dan teliti. Dalam menerapkan teknik-teknik tersebut guru perlu memperhatikan syarat-syarat teknik pembelajaran keterampilan menyimak.
Tarigan D & H.G. Tarigan (1987:43) menyebutkan bahwa syarat teknik yang baik adalah sebagai berikut.
1. Memikat, menantang atau merangsang siswa untuk belajar.
2. Memberi kesempatan yang luas dan mengaktifkan siswa secara mental dan fisik dalam belajar.
3. Tidak menyulitkan guru dalam penyusunan, pelaksanaan dan penilaian dalam program pembelajaran.
4. Dapat mengarahkan kegiatan belajar ke arah tujuan pembelajaran.
5. Tidak menuntut peralatan yang rumit, mahal dan sukar pengoprasianya.
6. Mengembangkan kreativitas siswa.
7. Mengembanngkan penampilan siswa siswa secara individual ataupun secara kelompok.
8. Meningkatkan aktivitas siswa dalam belajar.
9. Mengembangkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran.
Ahmad Rofi’uddin dan Darmiyati Zuchdi (1999:4-5) menyatakan keberhasilan menyimak bergantung pada dua kondisi. Pertama, guru harus memberikan teladan sebagai penyimak yang kritis, pembicara yang efektif dan menggunakan strategi serta teknik yang efektif pula. Kedua, setiap murid yang berpartisipasi dalam diskusi harus memiliki informasi tertentu yang akan disampaikan kepada teman-temannya.
Penerapan teknik dalam pembelajaran harus memperhatikan materi atau bahan, kondisi siswa, situasi kelas, dan sebagainya. Seorang guru harus pandai-pandai menerapkan teknik
pembelajaran di dalam kelas. Guru perlu mengetahui, pada saat yang bagaimana dan kapan teknik tersebut perlu diterapkan.
Cerita Anak
Muhammad Nur Mustakhim (2005: 12) menyatakan bahwa cerita merupakan gambaran tentang kejadian suatu tempat, kehidupan binatang sebagai perlambang kehidupan manusia, kehidupan manusia dalam masyarakat, dan
cerita tentang mite yang hidup dalam masyarakat kapan dan dimana cerita itu terjadi. Cerita sudah sejak dulu ada disampaikan secara lisan, kemudian berkembang terus menjadi bahan cetakan berupa buku, kaset, video kaset, dan film atau cinema. Demikian pula bahan cerita ini berkembang terus sesuai dengan perkembangan zaman, imu pengetahuan, dan perkembangan teknologi. Cerita berada pada posisi pertama dalam mendidik etika kepada anak. Mereka cenderung menyukai dan menikmatinya, baik dari segi ide, imajinasi maupun peristiwa-peristiwanya. Jika hal ini dapat dilakukan dengan baik, cerita akan menjadi bagian dari seni yang disukai anak-anak, bahkan orang dewasa.
Cerita anak merupakan kisah sederhana yang ditulis untuk anak, berbicara mengenai kehidupan anak dan sekeliling yang mempengaruhi anak, di dalamnya mencerminkan liku-liku kehidupan yang dapat dipahami oleh anak, melukiskan perasaan anak, dan menggambarkan pemikiran-pemikiran anak. Cerita anak berbentuk prosa yang menceritakan suatu peristiwa yang singkat dan padat jumlah pengembangan pelaku terbatas, keseluruhan cerita memberikan kesan tunggal serta mencerminkan perasaan pengalaman anak-anak, dan ditujukan bagi anak. Cerita anak sangat berarti bagi anak-anak. Sebagai bacaan penghibur, ada sisi lain yang bermanfaat baginya yaitu sebagai pengasah rasa empati dalam jiwanya. Dalam hal ini cerita anak dapat digunakan untuk mendapatkan pengalaman berharga yang dapat menolong membentuk jiwa anak-anak supaya kelak menjadi anak yang baik.
Manfaat Cerita Anak
Menurut Tadkiroatun Musfiroh (2005:95-115), dipandang dari berbagai aspek, sebuah cerita mempunyai manfaat sebagai berikut.
1. Membantu Pembentukan Pribadi dan Moral
Cerita sangat efektif untuk mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku anak. Anak yang sudah terbiasa menyimak cerita, dalam jiwa mereka akan tumbuh pribadi yang hangat serta memiliki kecerdasan interpersonal. Selain itu cerita juga dapat mendorong perkembangan moral mereka. Sebuah cerita biasanya mengandung contoh perilaku buruk
maupun contoh perilaku baik. Contoh perilaku buruk dimaksudkan agar dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Contoh perilaku baik dimaksudkan agar dapat ditiru untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Menyalurkan Kebutuhan Imajinasi
Anak membutuhkan penyaluran imajinasi tentang berbagai hal yang selalu muncul dalam pikiran mereka. Pada saat menyimak cerita, imajinasi mereka mulai dirangsang. Mereka membayangkan apa yang terjadi dan tokoh yang terlibat dalam cerita tersebut. Imajinasi yang dibangun anak saat menyimak cerita memberikan pengarauh positif terhadap kemampuan mereka menyelesaikan masalah secara kreatif.
3. Memacu Kemampuan Verbal
Selama menyimak cerita, anak dapat belajar bagaimana bunyi-bunyi yang bermakna diujarkan dengan benar, bagaimana kata-kata itu disusun secara logis dan mudah dipahami, bagaimana konteks dan koteks berfungsi dalam makna. Cerita dapat juga mendorong anak untuk senang bercerita atau berbicara. Mereka dapat berlatih berdialog, berdiskusi antarteman untuk menuangkan kembali gagasan yang disimaknya.
4. Merangsang Minat Baca
Membacakan cerita dapata menjadi contoh yang efektif untuk menstimulus anak untuk gemar membaca. Seorang anak biasanya suka meniru-niru perilaku orang dewasa. Dari kegiatan bercerita, anak secara tidak langsung memperoleh contoh orang yang gemar dan pintar membaca dari apa yang dilihatnya.
5. Membuka Cakrawala Pengetahuan
Manfaat cerita sebagai pengembang cakrawala pengetahuan tampak pada cerita-cerita yang memiliki karakteristik budaya, seperti mengenal nama-nama tempat cerita, bahasa-bahasa yang digunakan dalam cerita atau ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam cerita tersebut. Hal itu tentu akan menambah pengetahuan mereka tentang hal yang belum pernah mereka ketahui.
Cerita-cerita memang sangat bermanfaat bagi seseorang dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi anak-anak karena cerita itu dapat mendidik pola pikir dan perkembangan emosi mereka. Bagi seorang guru atau pun orang tua yang akan memilihkan cerita bagi siswa dan anak mereka, haruslah dapat memilihkan cerita yang sesuai dengan usia mereka.
Teknik Paired Storytelling atau Cerita Berpasangan
Teknik cerita berpasangan merupakan salah satu teknik pembelajaran cooperative learning, yang dikembangkan sebagai pendekatan interaktif antara siswa, guru dan bahan pembelajaran. Menurut Noor Fatirul (2008) dikatakan bahwa teknik paired storytelling atau cerita berpasangan ini dapat digunakan dalam pelajaran membaca, menulis, menyimak, dan berbicara, atau dapat juga dengan menggabungkan kegiatan keempat keterampilan membaca, yaitu membaca menulis menyimak dan berbicara.
Lebih lanjut dikatakan bahwa teknik paired storytelling atau cerita berpasangan bisa pula digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan sosial, agama, dan bahasa. Bahan pelajaran yang paling cocok digunakan dengan teknik ini adalah bahan yang bersifat naratif dan deskriptif. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan dipakainya bahan-bahan yang lainnya. Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Dalam kegiatan ini, siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan berimajinasi. Buah pemikiran mereka akan dihargai, sehingga siswa merasa makin terdorong untuk belajar. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Bercerita Berpasangan bisa digunakan untuk semua tingkatan usia anak didik.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Lie (1993) berpendapat bahwa:
“ This storytelling strategy provides opportunities for one-on-one interaction among students around school tasks and gives them opportunity to use the target language communicativelly. The cooperative work improves group relations, increases self-esteem, and increases vocabulary asquisition.”
Sedangkan Hennings (1986:131) mengatakan:
“Participatory storytelling is a fine beginning for developing children’s ability to express themselves orally. Stories have a straightforward sequence that provides an easy introduction to oral sequencing and pacing of ideas. They havean inherent appeal to children; youngsters love to hear stories and can easily develop interest in sharing similar tales. Then too, storys for children are action-filled. In telling them, youngsters must vary voice, express meanings through face and body, use props where appropriate, and select the most expressive words. These abilities are what dramatic sharing in the elementary grades is all about.”Teknik paired storytelling atau cerita berpasangan merupakan teknik yang memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Dalam kegiatan ini, siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan berimajinasi. Buah pemikiran mereka akan dihargai, sehingga siswa merasa makin terdorong untuk belajar. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Teknik cerita berpasangan bisa digunakan untuk semua tingkatan usia anak didik.
Prosedur Teknik Paired Storytelling atau Cerita Berpasangan dalam Pembelajaran Keterampilan Menyimak Cerita Anak
Prosedur teknik cerita berpasangan sebagai berikut.
1. Siswa dibagi menjadi dua kelompok. kelompok pertama dan kelompok kedua.
2. Sebelum bahan pelajaran diberikan, guru melakukan brainstroming mengenai topik yang akan disampaikan hari ini.
3. Guru membagi satu bahan cerita menjadi dua bagian, (bagian pertama dan kedua).
4. Bagian pertama cerita diberikan kepada pembaca kelompok pertama, sedangkan pembaca kelompok kedua menerima bagian cerita yang kedua.
5. Salah seorang pembaca dari kelompok pertama membacakan cerita bagian pertama, sedangkan kelompok kedua menyimak dengan menuliskan kata atau frase kunci. Setelah itu, salah seorang pembaca dalam kelompok kedua membacakan cerita bagian kedua, sedangkan kelompok pertama menyimak dengan menuliskan kata atau frase kunci pula.
6. Setelah cerita bagian pertama dan cerita bagian kedua selesai dibacakan oleh pembaca tiap-tiap kelompok, kemudian kata atau frase kunci yang telah mereka buat, saling ditukarkan antarkelompok dengan berpasangan.
7. Setelah semua kata atau frase kunci setiap bagian cerita dicatat, tiap-tiap siswa menceritakan kembali cerita yang mereka simak berdasarkan kata atau frase kunci yang mereka catat.
8. Setelah cerita selesai dibuat oleh para siswa, kemudian mereka menjawab soal-soal yang berhubungan dengan cerita yang telah mereka simak, yang dibuat oleh guruu dengan teknik 5W+1H.
9. Selanjutnya, siswa mengumpulkan jawaban soal dan cerita yang telah mereka susun.
10. Guru memanggil nama beberapa siswa untuk membacakan hasil ceritanya di depan kelas, sambil membagikan cerita lengkap kepada tiap-tiap siswa.
11. Kegiatan diakhiri dengan diskusi mengenai soal-soal yang telah para siswa kerjakan.
Teknik paired storytelling atau cerita berpasangan menggabungkan teknik pembelajaran keterampilan menyimak yang lain, yaitu teknik identifikasi kata kunci, teknik merangkum, dan teknik menjawab pertanyaan 5W +1H. Teknik-teknik lain yang dapat digunakan dalam pembelajaran keterampilan menyimak menurut Tarigan D.& H.G. Tarigan (1987:82) adalah: dengar-ulang ucap, dengar-tulis atau dikte, dengar kerjakan dengar-terka, memperluas kalimat, menemukan benda, bisik berantai menyelesaikan cerita, identifikasi kata kunci, identifikasi kalimat topik, merangkum, parafrase, dan menjawab pertanyaan 5W+1H.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar