Ditulis oleh Yogi Yuswantoro
Dalam novel ca bau kan karya remy sylado menceritakan tentang Ca Bau Kan adalah sebuah film cerita berdasarkan kisah menarik yang ditulis oleh Remy Sylado, diterbitkan tahun 1999. Bagi mereka yang mengerti bahasa Cina, “Ca-bau-kan” berarti “wanita”. Namun, sebagian besar menyebutnya “cabo” yang berarti wanita tidak bermoral. Novel ini menghadirkan sebuah kisah menggigit tentang perjalanan seorang wanita tak berdaya dalam perjalanannya menemukan cinta sejati. Kisah ini juga menceritakan pencarian asal usul, ditengah-tengah kebudayaan Indonesia dan Cina.
Pada awal cerita, saat zaman kolonial Belanda di Batavia, diceritakan latar belakang seorang wanita betawi muda. Dia kehilangan suaminya tak lama setelah menikah dan diusir dari keluarga mendiang suaminya saat sedang mengandung. Tragedi tersebut bertambah parah dengan gugurnya kandungan wanita tersebut yang diikuti dengan masuknya Dia ke dalam dunia prostitusi Ca-bau-kan atas dorongan Bibinya, Saodah
Cerita dimulai dari pulangnya Giok Lan, seorang wanita Indonesia lanjut usia yang dulu dipungut anak dan tinggal di Belanda, ke Indonesia. Ia kembali ke Indonesia untuk mencari tahu asal usul dan latar belakang hidupnya dan keluarga sebenarnya. Ia akhirnya tahu bahwa Ibu kandungnya adalah wanita betawi pribumi tadi yang bernama Siti Noerhajati, yang kerap dipanggil Tinung, seorang Ca-bau-kan yang sering menghibur orang Tionghoa pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. Ayah kandungnya adalah Tan Peng Liang, seorang pedagang tembakau peranakan Tionghoa dari Semarang. Mereka berdua adalah orang tua kandung dari Giok Lan, sang narator film.
Cerita berpindah ke masa lalu, pada tahun 1933. Tinung menjadi seorang Ca-bau-kan di daerah Kalijodo, Batavia, dan tak lama kemudian Tinung pun menjadi sangat populer dan terkenal karena kecantikannya. Karena kecantikannya tersebut, Tinung sempat dijadikan wanita simpanan oleh seorang tauke (juragan) pisang Tionghoa berperangai kasar yang bernama Tan Peng Liang. Tinung hidup dengan nyaman dan bahkan mengandung anak lagi. Namun kemudian Tinung melarikan diri karena tidak tahan dengan lingkungan rumah Tan Peng Liang yang diwarnai kekerasan.
Tinung kemudian melanjutkan profesinya sebagai wanita penghibur di Kalijodo, namun tak bertahan lama karena kondisinya yang berbadan dua. Saodah yang juga bekerja sebagai penari cokek kemudian membawa Tinung dan memperkenalkan Tinung ke dunia tari dan nyanyi cokek di bawah naungan Njoo Tek Hong, seorang musisi Tionghoa. Dalam sebuah festival, dia bertemu dengan Tan Peng Liang , seorang pengusaha tembakau kiau-seng (peranakan Tionghoa) dari Semarang yang sangat berbeda dengan Tan Peng Liang sebelumnya, dan mereka berdua pun saling menyimpan perasaan.
Cerita berpindah ke Tan Peng Liang kedua yang namanya cepat melejit sebagai pengusaha tambakau sukses dan kaya di Batavia. Konflik persaingan pun mulai timbul antara Tan Peng Liang dengan Kong Koan, sebuah dewan pengusaha besar Tionghoa di Batavia yang beranggotakan antara lain oleh Oey Eng Goan, Thio Boen Hiap, Lie Kok Pien, Kwee Tjwie Sien, Timothy Wu dan pengacara Liem Kiem Jang \
Tinung akhirnya menjadi seorang penari cokek dan sering menghibur di festival gambang kromong Betawi. Dia bertemu dengan Tan Peng Liang lagi dan akhirnya menerima tawarannya untuk menjadi wanita simpanan Tan Peng Liang, sementara perseteruan Tan Peng Liang dengan Dewan Kong Koan semakin memanas. Tinung dan Tan Peng Liang pun memulai jalinan kasih yang dilandasi cinta, walaupun mereka tak menikah secara resmi, karena di balik hubungan mereka, anak dan istri Tan Peng Liang di Semarang menentang keras hubungan berbeda kelas tersebut. Yang mendukung hubungan mereka hanyalah Ibu Tan Peng Liang seorang wanita Jawa yang bijaksana.
Cerita berpindah ke perseteruan Tan Peng Liang dan Dewan Kong Koan, dimana Tan Peng Liang dan tangan kanannya, Tan Soen Bie menipu Thio Boen Hiap untuk menjual tembakaunya ke Tan Peng Liang. Cerita kemudian mengungkap bahwa Giok Lan lahir di tengah-tengah perseteruan bisnis Tan Peng Liang dengan Dewan Kong Koan tersebut. Tindakan penipuan Tan Peng Liang akhirnya diketahui oleh Thio Boen Hiap yang karena amarahnya akhirnya merencanakan untuk membakar gudang tembakau Tan Peng Liang. Rencana tersebut berhasil dihentikan oleh Tan Soen Bie yang menangkap basah orang suruhan Thio Boen Hiap, namun siapa sangka, karena dibakar amarahnya Tan Peng Liang malah menyuruh Tan Soen Bie untuk membunuh orang suruhan tersebut dan membakar gudang tembakaunya beserta isinya.
Kasus pembakaran tersebut diselidiki oleh kepolisian Hindia Belanda dan pers. Tan Peng Liang pun mulai menyogok mereka dengan uang suapan untuk menjebak Thio Boen Hiap. Tak lama setelah sidang, Thio Boen Hiap pun akhirnya dinyatakan bersalah, namun situasi justru berbalik menyudutkan Tan Peng Liang setelah wartawan Max Awuy bersama Tjia Wan Sen mengungkap pemalsuan uang yang dilakukan Tan Peng Liang. Tan Peng Liang pun akhirnya ditangkap dan dipenjara di Cipinang. Dalam penjara terungkap bahwa Tan Peng Liang ternyata terlibat perjuangan kemerdekaan bersama Rahardjo Soetardjo, sepupunya yang adalah orang Jawa pribumi.
Cerita berpindah ke masa ini, dimana Giok Lan bertemu dengan Oey Eng Goan tua dan bertanya mengenai riwayat Tan Peng Liang. Oey Eng Goan ternyata masih membenci Tan Peng Liang lama setelah Dia mati. Dia bercerita bahwa tak lama setelah dipenjara, Tan Peng Liang melarikan diri ke Makau, Cina, dan menjadi semakin disegani dalam dunia bisnis, namun juga bercerita bahwa Tinung lah orang yang sebenarnya membuat Tan Peng Liang orang yang disegani.
Cerita berpindah lagi ke masa lalu, dimana Tinung menolak ajakan banyak pria untuk menjadi wanita simpanan mereka karena cintanya pada Tan Peng Liang. Dilanda kemiskinan, Tinung tidak dapat mengurus anak-anaknya. Dia terpaksa menyerahkan anak pertamanya dan Giok Lan kecil untuk diadopsi dan dibawa ke negeri Belanda dengan imbalan uang, walau dilanda perasaan bersalah sebagai seorang Ibu. Terungkap bahwa tak lama setelah diadopsi, anak pertamanya, Kakak Giok Lan, telah meninggal di Belanda, namun Tinung tidak mengetahui karena Ia buta huruf dan tak dapat membaca surat tentang kabar tersebut. Cerita kemudian mengungkap bahwa Tinung diculik oleh orang suruhan Tan Peng Liang pertama yang ternyata masih menyimpan perasaan kepada Tinung. Namun kisah penculikan tersebut tidak bertahan lama karena campur tangan Tan Soen Bie yang diakhiri dengan tewasnya Tan Peng Liang pertama di tangan Tjia Wan Sen yang dendam kepadanya. Kematian Tan Peng Liang pertama tersebut menjadi keuntungan bagi Tan Peng Liang kedua yang dapat memalsukan kematiannya sendiri.
Cerita berpindah ke kedatangan pasukan Jepang tahun 1942, dimana anggota Dewan Kong Koan akhirnya ditangkap dan Rahardjo Soetardjo bersama Max Awuy menjadi rekan seperjuangan bawah tanah dalam pasukan Jepang. Di negeri Siam, Tan Peng Liang telah mengganti namanya menjadi Simon Chen. Dia memulai hubungan asmara disertai bisnis menyelundupkan senjata dengan seorang pejuang bawah tanah komunis merangkap pengusaha bernama Jeng Tut. Cerita kemudian berpindah ke masa ini, dimana Oey Eng Goan tua bercerita bahwa untuk membebaskan anggota Kong Koan dari tangkapan Jepang, Thio Boen Hiap menghadiahkan Tinung yang cantik ke tentara Jepang sebagai seorang jugun ianfu di Rumah Panjang, Sukabumi. Kembali ke masa lalu, hilangnya Tinung memancing kemarahan Tan Soen Bie yang kemudian mengabarkan berita tersebut ke Tan Peng Liang.
Tan Peng Liang pulang dan berlabuh di Sunda Kelapa, Batavia, lalu bertemu dengan Rahardjo Soetardjo. Tan Peng Liang marah besar saat Rahardjo Soetardjo mengabarkan nasib Tinung dan perbuatan Thio Boen Hiap kepadanya. Dia kemudian berjanji akan membantu perjuangan pasukan Rahardjo Soetardjo asalkan dibantu untuk mendapatkan Tinung kembali. Tinung pun akhirnya dibebaskan keluar dari Rumah Panjang oleh Rahardjo Soetardjo. Dalam penantiannya di sebuah Rumah Sakit, Tinung menjadi hancur dilanda oleh perasaan bersalah dari peristiwa-peristiwa hidupnya selama itu, namun akhirnya pertemuan dengan Tan Peng Liang merubah hidupnya kembali ke normal. Cerita kemudian berpindah ke peran Tang Peng Liang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tan Peng Liang akhirnya bergabung dengan Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy sebagai pemasok senjata dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perannya tersebut ditentang oleh Dewan Kong Koan yang mengetahui bahwa Tan Peng Liang masih hidup, dan dipersulit hubungannya dengan Jeng Tut yang mulai sulit karena pandangan ideologi mereka yang berbeda.
Di sisi lain, hubungan Tang Peng Liang dengan Tinung juga semakin renggang. Tinung merasa bahwa Ia tidak berguna untuk Tan Peng Liang karena tidak bisa mengandung anak lagi. Hal tersebut akhirnya memicu Tan Peng Liang untuk melampiaskan dendam lamanya kepada Thio Boen Hiap yang menyerahkan Tinung kepada pasukan Jepang sebelum kemerdekaan. Tan Peng Liang pun akhirnya menyerbu rumah Thio Boen Hiap dan dalam kemarahannya akhirnya mengeksekusi Thio Boen Hiap dengan tembakan ke kepala. Cerita berpindah ke Batavia yang sekarang bernama Jakarta pada tahun 1960, dimana Tan Peng Liang menjadi seorang pengusaha yang sangat kaya dan sukses, dibantu oleh teman seperjuangannya, Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy yang kini mendapat posisi di pemerintahan Indonesia. Di sini Tan Peng Liang kembali menyatakan cintanya yang tulus kepada Tinung. Namun dibalik layar, anggota Dewan Kong Koan yang telah bubar masih menyimpan dendam pada Tan Peng Liang, karena mereka tahu siapa yang membunuh Thio Boen Hiap.
Hidup Tan Peng Liang akhirnya berakhir tak lama kemudian. Dia meninggal setelah memakan durian beracun yang dibawakan oleh Jeng Tut dalam sebuah pertemuan bisnis di rumahnya. Terungkap bahwa tak lama setelah meninggalnya Tan Peng Liang, Tinung pun akhirnya juga meninggal. Tak ada yang mencurigai bahwa Tan Peng Liang sebenarnya mati dibunuh, namun akhirnya Oey Eng Goan tua bercerita bahwa Dia lah yang sebenarnya merencanakan pembunuhan tersebut. Giok Lan sangat marah setelah mengetahui perbuatan tersebut, namun akhirnya memutuskan untuk memaafkan Oey Eng Goan dan melupakan kejadian tersebut, walau ditentang oleh saudaranya. Novei ini diakhiri dengan kedatangan Giok Lan ke sebuah kuburan Tionghoa, untuk berziarah ke makam kedua orang tuanya, Tan Peng Liang dan Siti Noerhajati yang diakhiri dengan pembelaan dan pembenarannya atas pekerjaan Ibunya sebagai seorang Ca-bau-kan.
Tinung adalah seorang Ca Bau Kan. Pada usia 14 tahun orang tuanya menjodohkannya dengan seorang pria Batavia yang telah beristri empat. Keempatnya tinggal di bawah satu atap. Lima bulan setelah pernikahannya, sang suami meninggal dunia. Sebagai istri termuda, Tinung dituduh oleh istri-istri yang lain dan ibu mertuanya sebagai sebab kematian sang suami. Mereka kemudian memaksa Tinung keluar dari rumah. Merasa kehilangan dan dikhianati, Tinung menjual diri kepada pria-pria pendatang Cina di Kali Jodo atas bantuan dan dorongan orang tua dan saudaranya, Saodah, yang telah menjalani hidup bebas. Berdiri di atas perahunya dengan tubuh yang berlekuk-lekuk, Tinung dengan cepat menjadi pusat perhatian di daerah Kali Jodo. Ia menjadi seorang “Ca-bau-kan” yang paling dicari.
Dslam novel ini dapat ditarik suatu nilai moral yang di tarik. Nilai moral sendiri merupakan nilai-nilai yang mengacu pada baik buruknya tindakan manusia sebagai manusia. Hala ini dapat dilihat dari seluruh aspek kehiduipan manusia secara konkrit yang teraktualisasi menalai tutur kata dan perbuatan yang dilakukan secara sadar atau mengerti terlebih dahulu tanpa paksaan atau tekanan dari orang lain.
Dalam novel ini memiliki banyak tokoh yang sifatnya berbeda-beda. Tetapi dalam pemaparan makalah ini kira hanya mengambil tokoh tan peng liang asal gang tamim bandung, tan peng liang asal gang pinggir semarang dan tinung karena dalam pesan moral mereka paling menonjol.
Kita mulai dari tan peng liang gang bandung. Diceritakan tan peng liang merupakan orang yang berprofesi sabagai rentenir. Ia selalu menyiksa jika ada orang yang memiliki hutang tidak mau bayar baik hutang pokok maupun bunganya.
Seorang rentenir sering menjadi lalim seperti tan peng liang dan melihat kelakuan itu tinung takut. tak sekali dua, sejak tinung disimpan di sewan, dia melihat bagaimana dengan kejamnya pan peng liang menyuruh centeng-centengnya menyiksa orang yang terlambat membeyar. Seseorang yang belum membayar pada waktu yang ditentukan, dinaikkan lagi bunga uang makin lama makin tinggi. Diantara orang-orang sekitar tangerang yang pernah bermasalah dengan tan peng liang, adalah boning yang digebuk sampai gigi-giginya rontok, membuat tinung yang sempat menyaksikan benar-benar ngeri, terbawa dalam mimpi (hal 22)
Dalam kutipan diatas menjelaskan bahwa moral seorang tan peng liang tidaklah baik karena ia selalu menyiksa orang yang terlambat membayar utang-utangnya. Selain itu juga tan peng liang selalu menaikkan bunga utang jika tidak bisa membayarnya tepat waktu. Hukuman yang dijatuhkan oleh tan peng liangpun terbilang sangat kejam karena menyiksa secara fisik sampai yang peling kejam membunuh orang tersebut.
Kedua adalah tan [eng liang dari semarang. Ia adalah memiliki moral ganda. Distu sisi ia baik yaitu membantu pergerakan PNI dan disatu sisi ia menciptakan uang palsu yang sngat merugikan Negara.
“Terima kasih atas bantuan finansiilmu buat pergerakan kami disini.” Kata soetardjo rahardjo.
“Itu soal kecil.”kata tan peng liang.. pokoknya kalau ada kesulitan jangan sungkan-sungkan kontak aku sampean mesti aku bantu. (hal 90)
Dalam kutipan di atas jelas bahwa tan peng liang semarang memuiliki akal baik yaitu membantu pergerakan PNI dimana pergerakan itu merupakan pergerakan yang dibentuk untuk melawan penjajah dari Indonesia. Berbeda dengan tang peng liang dari bending yang malah menytuksa rakyat kecil yang tidak berdosa karena tidak mampub membayar utang-utangnya.
Dibalik kebaikan tan peng liang dari semarang ini juga terdapat moral yang sangat buruk yaitu membuat unga palsu.
Diruang bawah tanah ini ada mesin cetak dan pelbagai peralatan lain. Dotengahnya ada peti-peti. Isinya uang-uang kertas. Dari mana pula uanga kertas sebanyak itu? Jawabnya tak lain adalah dari kemampuan otak tan peng liang melakukan tindakan criminal melawan hokum. Itu semua uang palsu(102)
Kebaikan tan peng liang kepada pergerakan PNI juga dibarengi dengan keburukan yang melawan hokum. Yaitu dengan menciptakan uang palsu dengan menggunakan mesin cetak. Ia menggunakan ruang bawah tanah guna keamanaan diri pihak yang berwajib. Uang palsu itu dicetak untuk disebarkan kemasyarakat. Tindakan ini sangat merugiakn masyarakat banyak karena barang yang tan peng liang beli menggunakan uang palsu, itu berarti orang yang berjualan tidak memiliki peluang untuk membeli barang dagangannya lagi dengan uang palsu.
Selain menciptakan xuang palsu ia juga melakukan penyuapan terhadap JP Verdoorn demi kepentingannya secara pribadi.
Sebenarnya JP Verdoorn segera tahu pula, bahwa isi amplop itu anga tapi ia berpura-pura pula. Apa ini? Katanya dalam nada sebolehnya. Menunjukkan sikap lugu jauh dari perbuatan-perbuatan dosa.
Ini sekedar bingkisan tuan inspektur, kata tan peng liang sambil mendekatkan amplop itu kehadapan JP Verdoorn..(152)
Kutipan itu menjeskan bahwa tan peng liang melakukan penyuapan kepada JP Verdoorn untuk kepentingannya. Ini jelas perbuatan yang sangat buruk dari tan peng liang yang tidak boleh untuk ditiru. Karena pada kehidupan nyata perbuatan menyuap merupakan perbuatan yang melanggar hokum dan berdosa bagi orang yang melakukannya secara agama baik yang menyuap dan di suap. Apalagi demi kepentingan pribadi.
Tan peg liang juga tidak senang jika urusan pribadinya diganggu oleh orang lain, apa lagi tidak sefaham dengan apa yang dilakukan oleh tan peng liang. Ia akan menyingkirkan orang yang mengganggu kepentingannya.
“hajar itu juru warta, kita sudah ajak dia berbaik, dia tidak mau. Ya wis, sudak, sikat. Bagaimana caramu menangani terserah.(190)
Dari kutipan itu terlihat bagi tan peng liang siapa saja yang tidak sejalan dengannya oaring tersebut harus disingkirkan atau dalam istilah dibunuh karena telah mengganggu kepentingan probadinya. Ini dilakukan dengan cara menyuruh kaki tangannya yyaitu tan soen bie
Tokoh yang ketiga dan sekaligus tokoh utama dalam novel ini. Tinung adalah seorang ca bau kan. Bagi mereka yang mengerti bahasa Cina, “Ca-bau-kan” berarti “wanita”. Namun, sebagian besar menyebutnya “cabo” yang berarti wanita tidak bermoral. Terlihat dari kutipan dibawah ini
Dan perahu menuju ke utara, dibagian yang sunyi. Sinar purnama agak condong terhalang pepohonan antara rengas dan bamboo. Disana tinung memulai babak baru kehidupannya, mengalami perasaan tertentu sambil menolak dan membuang perasaan-perasaan itu dari ingatannya. Setelah kencan pertama ini usai, masih ada lagi malam-malam lain, yang kedua, ketiga, kesepuluh, keduapuluh, dan seterusnya, tinungpun menjadi perempuan populeh dikali jodo, dijuluki chixiang bahasa kuo-yu artinya sangat masyur dan dicari-cari. (16)
Dalam kutipan itu jelas tinung memiliki moral yang tidak baik. Ia menjadikan dirinya sebagai wanita penghibur untuk menghilangkan semua yang ada dalam benaknya. Selain itu tuntutan ekonomi tinung rela menjual dirinya untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Ini merupakan pilihan terakhir tinung akan tetapi Meskipun pilihan tinung yang terakhir tetapi itu merupakan pilihan yang menjurumuskan pada moral yang tidak baik.
Dalam novel ca bau kan karya remy sylado menceritakan tentang Ca Bau Kan adalah sebuah film cerita berdasarkan kisah menarik yang ditulis oleh Remy Sylado, diterbitkan tahun 1999. Bagi mereka yang mengerti bahasa Cina, “Ca-bau-kan” berarti “wanita”. Namun, sebagian besar menyebutnya “cabo” yang berarti wanita tidak bermoral. Novel ini menghadirkan sebuah kisah menggigit tentang perjalanan seorang wanita tak berdaya dalam perjalanannya menemukan cinta sejati. Kisah ini juga menceritakan pencarian asal usul, ditengah-tengah kebudayaan Indonesia dan Cina.
Pada awal cerita, saat zaman kolonial Belanda di Batavia, diceritakan latar belakang seorang wanita betawi muda. Dia kehilangan suaminya tak lama setelah menikah dan diusir dari keluarga mendiang suaminya saat sedang mengandung. Tragedi tersebut bertambah parah dengan gugurnya kandungan wanita tersebut yang diikuti dengan masuknya Dia ke dalam dunia prostitusi Ca-bau-kan atas dorongan Bibinya, Saodah
Cerita dimulai dari pulangnya Giok Lan, seorang wanita Indonesia lanjut usia yang dulu dipungut anak dan tinggal di Belanda, ke Indonesia. Ia kembali ke Indonesia untuk mencari tahu asal usul dan latar belakang hidupnya dan keluarga sebenarnya. Ia akhirnya tahu bahwa Ibu kandungnya adalah wanita betawi pribumi tadi yang bernama Siti Noerhajati, yang kerap dipanggil Tinung, seorang Ca-bau-kan yang sering menghibur orang Tionghoa pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. Ayah kandungnya adalah Tan Peng Liang, seorang pedagang tembakau peranakan Tionghoa dari Semarang. Mereka berdua adalah orang tua kandung dari Giok Lan, sang narator film.
Cerita berpindah ke masa lalu, pada tahun 1933. Tinung menjadi seorang Ca-bau-kan di daerah Kalijodo, Batavia, dan tak lama kemudian Tinung pun menjadi sangat populer dan terkenal karena kecantikannya. Karena kecantikannya tersebut, Tinung sempat dijadikan wanita simpanan oleh seorang tauke (juragan) pisang Tionghoa berperangai kasar yang bernama Tan Peng Liang. Tinung hidup dengan nyaman dan bahkan mengandung anak lagi. Namun kemudian Tinung melarikan diri karena tidak tahan dengan lingkungan rumah Tan Peng Liang yang diwarnai kekerasan.
Tinung kemudian melanjutkan profesinya sebagai wanita penghibur di Kalijodo, namun tak bertahan lama karena kondisinya yang berbadan dua. Saodah yang juga bekerja sebagai penari cokek kemudian membawa Tinung dan memperkenalkan Tinung ke dunia tari dan nyanyi cokek di bawah naungan Njoo Tek Hong, seorang musisi Tionghoa. Dalam sebuah festival, dia bertemu dengan Tan Peng Liang , seorang pengusaha tembakau kiau-seng (peranakan Tionghoa) dari Semarang yang sangat berbeda dengan Tan Peng Liang sebelumnya, dan mereka berdua pun saling menyimpan perasaan.
Cerita berpindah ke Tan Peng Liang kedua yang namanya cepat melejit sebagai pengusaha tambakau sukses dan kaya di Batavia. Konflik persaingan pun mulai timbul antara Tan Peng Liang dengan Kong Koan, sebuah dewan pengusaha besar Tionghoa di Batavia yang beranggotakan antara lain oleh Oey Eng Goan, Thio Boen Hiap, Lie Kok Pien, Kwee Tjwie Sien, Timothy Wu dan pengacara Liem Kiem Jang \
Tinung akhirnya menjadi seorang penari cokek dan sering menghibur di festival gambang kromong Betawi. Dia bertemu dengan Tan Peng Liang lagi dan akhirnya menerima tawarannya untuk menjadi wanita simpanan Tan Peng Liang, sementara perseteruan Tan Peng Liang dengan Dewan Kong Koan semakin memanas. Tinung dan Tan Peng Liang pun memulai jalinan kasih yang dilandasi cinta, walaupun mereka tak menikah secara resmi, karena di balik hubungan mereka, anak dan istri Tan Peng Liang di Semarang menentang keras hubungan berbeda kelas tersebut. Yang mendukung hubungan mereka hanyalah Ibu Tan Peng Liang seorang wanita Jawa yang bijaksana.
Cerita berpindah ke perseteruan Tan Peng Liang dan Dewan Kong Koan, dimana Tan Peng Liang dan tangan kanannya, Tan Soen Bie menipu Thio Boen Hiap untuk menjual tembakaunya ke Tan Peng Liang. Cerita kemudian mengungkap bahwa Giok Lan lahir di tengah-tengah perseteruan bisnis Tan Peng Liang dengan Dewan Kong Koan tersebut. Tindakan penipuan Tan Peng Liang akhirnya diketahui oleh Thio Boen Hiap yang karena amarahnya akhirnya merencanakan untuk membakar gudang tembakau Tan Peng Liang. Rencana tersebut berhasil dihentikan oleh Tan Soen Bie yang menangkap basah orang suruhan Thio Boen Hiap, namun siapa sangka, karena dibakar amarahnya Tan Peng Liang malah menyuruh Tan Soen Bie untuk membunuh orang suruhan tersebut dan membakar gudang tembakaunya beserta isinya.
Kasus pembakaran tersebut diselidiki oleh kepolisian Hindia Belanda dan pers. Tan Peng Liang pun mulai menyogok mereka dengan uang suapan untuk menjebak Thio Boen Hiap. Tak lama setelah sidang, Thio Boen Hiap pun akhirnya dinyatakan bersalah, namun situasi justru berbalik menyudutkan Tan Peng Liang setelah wartawan Max Awuy bersama Tjia Wan Sen mengungkap pemalsuan uang yang dilakukan Tan Peng Liang. Tan Peng Liang pun akhirnya ditangkap dan dipenjara di Cipinang. Dalam penjara terungkap bahwa Tan Peng Liang ternyata terlibat perjuangan kemerdekaan bersama Rahardjo Soetardjo, sepupunya yang adalah orang Jawa pribumi.
Cerita berpindah ke masa ini, dimana Giok Lan bertemu dengan Oey Eng Goan tua dan bertanya mengenai riwayat Tan Peng Liang. Oey Eng Goan ternyata masih membenci Tan Peng Liang lama setelah Dia mati. Dia bercerita bahwa tak lama setelah dipenjara, Tan Peng Liang melarikan diri ke Makau, Cina, dan menjadi semakin disegani dalam dunia bisnis, namun juga bercerita bahwa Tinung lah orang yang sebenarnya membuat Tan Peng Liang orang yang disegani.
Cerita berpindah lagi ke masa lalu, dimana Tinung menolak ajakan banyak pria untuk menjadi wanita simpanan mereka karena cintanya pada Tan Peng Liang. Dilanda kemiskinan, Tinung tidak dapat mengurus anak-anaknya. Dia terpaksa menyerahkan anak pertamanya dan Giok Lan kecil untuk diadopsi dan dibawa ke negeri Belanda dengan imbalan uang, walau dilanda perasaan bersalah sebagai seorang Ibu. Terungkap bahwa tak lama setelah diadopsi, anak pertamanya, Kakak Giok Lan, telah meninggal di Belanda, namun Tinung tidak mengetahui karena Ia buta huruf dan tak dapat membaca surat tentang kabar tersebut. Cerita kemudian mengungkap bahwa Tinung diculik oleh orang suruhan Tan Peng Liang pertama yang ternyata masih menyimpan perasaan kepada Tinung. Namun kisah penculikan tersebut tidak bertahan lama karena campur tangan Tan Soen Bie yang diakhiri dengan tewasnya Tan Peng Liang pertama di tangan Tjia Wan Sen yang dendam kepadanya. Kematian Tan Peng Liang pertama tersebut menjadi keuntungan bagi Tan Peng Liang kedua yang dapat memalsukan kematiannya sendiri.
Cerita berpindah ke kedatangan pasukan Jepang tahun 1942, dimana anggota Dewan Kong Koan akhirnya ditangkap dan Rahardjo Soetardjo bersama Max Awuy menjadi rekan seperjuangan bawah tanah dalam pasukan Jepang. Di negeri Siam, Tan Peng Liang telah mengganti namanya menjadi Simon Chen. Dia memulai hubungan asmara disertai bisnis menyelundupkan senjata dengan seorang pejuang bawah tanah komunis merangkap pengusaha bernama Jeng Tut. Cerita kemudian berpindah ke masa ini, dimana Oey Eng Goan tua bercerita bahwa untuk membebaskan anggota Kong Koan dari tangkapan Jepang, Thio Boen Hiap menghadiahkan Tinung yang cantik ke tentara Jepang sebagai seorang jugun ianfu di Rumah Panjang, Sukabumi. Kembali ke masa lalu, hilangnya Tinung memancing kemarahan Tan Soen Bie yang kemudian mengabarkan berita tersebut ke Tan Peng Liang.
Tan Peng Liang pulang dan berlabuh di Sunda Kelapa, Batavia, lalu bertemu dengan Rahardjo Soetardjo. Tan Peng Liang marah besar saat Rahardjo Soetardjo mengabarkan nasib Tinung dan perbuatan Thio Boen Hiap kepadanya. Dia kemudian berjanji akan membantu perjuangan pasukan Rahardjo Soetardjo asalkan dibantu untuk mendapatkan Tinung kembali. Tinung pun akhirnya dibebaskan keluar dari Rumah Panjang oleh Rahardjo Soetardjo. Dalam penantiannya di sebuah Rumah Sakit, Tinung menjadi hancur dilanda oleh perasaan bersalah dari peristiwa-peristiwa hidupnya selama itu, namun akhirnya pertemuan dengan Tan Peng Liang merubah hidupnya kembali ke normal. Cerita kemudian berpindah ke peran Tang Peng Liang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tan Peng Liang akhirnya bergabung dengan Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy sebagai pemasok senjata dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perannya tersebut ditentang oleh Dewan Kong Koan yang mengetahui bahwa Tan Peng Liang masih hidup, dan dipersulit hubungannya dengan Jeng Tut yang mulai sulit karena pandangan ideologi mereka yang berbeda.
Di sisi lain, hubungan Tang Peng Liang dengan Tinung juga semakin renggang. Tinung merasa bahwa Ia tidak berguna untuk Tan Peng Liang karena tidak bisa mengandung anak lagi. Hal tersebut akhirnya memicu Tan Peng Liang untuk melampiaskan dendam lamanya kepada Thio Boen Hiap yang menyerahkan Tinung kepada pasukan Jepang sebelum kemerdekaan. Tan Peng Liang pun akhirnya menyerbu rumah Thio Boen Hiap dan dalam kemarahannya akhirnya mengeksekusi Thio Boen Hiap dengan tembakan ke kepala. Cerita berpindah ke Batavia yang sekarang bernama Jakarta pada tahun 1960, dimana Tan Peng Liang menjadi seorang pengusaha yang sangat kaya dan sukses, dibantu oleh teman seperjuangannya, Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy yang kini mendapat posisi di pemerintahan Indonesia. Di sini Tan Peng Liang kembali menyatakan cintanya yang tulus kepada Tinung. Namun dibalik layar, anggota Dewan Kong Koan yang telah bubar masih menyimpan dendam pada Tan Peng Liang, karena mereka tahu siapa yang membunuh Thio Boen Hiap.
Hidup Tan Peng Liang akhirnya berakhir tak lama kemudian. Dia meninggal setelah memakan durian beracun yang dibawakan oleh Jeng Tut dalam sebuah pertemuan bisnis di rumahnya. Terungkap bahwa tak lama setelah meninggalnya Tan Peng Liang, Tinung pun akhirnya juga meninggal. Tak ada yang mencurigai bahwa Tan Peng Liang sebenarnya mati dibunuh, namun akhirnya Oey Eng Goan tua bercerita bahwa Dia lah yang sebenarnya merencanakan pembunuhan tersebut. Giok Lan sangat marah setelah mengetahui perbuatan tersebut, namun akhirnya memutuskan untuk memaafkan Oey Eng Goan dan melupakan kejadian tersebut, walau ditentang oleh saudaranya. Novei ini diakhiri dengan kedatangan Giok Lan ke sebuah kuburan Tionghoa, untuk berziarah ke makam kedua orang tuanya, Tan Peng Liang dan Siti Noerhajati yang diakhiri dengan pembelaan dan pembenarannya atas pekerjaan Ibunya sebagai seorang Ca-bau-kan.
Tinung adalah seorang Ca Bau Kan. Pada usia 14 tahun orang tuanya menjodohkannya dengan seorang pria Batavia yang telah beristri empat. Keempatnya tinggal di bawah satu atap. Lima bulan setelah pernikahannya, sang suami meninggal dunia. Sebagai istri termuda, Tinung dituduh oleh istri-istri yang lain dan ibu mertuanya sebagai sebab kematian sang suami. Mereka kemudian memaksa Tinung keluar dari rumah. Merasa kehilangan dan dikhianati, Tinung menjual diri kepada pria-pria pendatang Cina di Kali Jodo atas bantuan dan dorongan orang tua dan saudaranya, Saodah, yang telah menjalani hidup bebas. Berdiri di atas perahunya dengan tubuh yang berlekuk-lekuk, Tinung dengan cepat menjadi pusat perhatian di daerah Kali Jodo. Ia menjadi seorang “Ca-bau-kan” yang paling dicari.
Dslam novel ini dapat ditarik suatu nilai moral yang di tarik. Nilai moral sendiri merupakan nilai-nilai yang mengacu pada baik buruknya tindakan manusia sebagai manusia. Hala ini dapat dilihat dari seluruh aspek kehiduipan manusia secara konkrit yang teraktualisasi menalai tutur kata dan perbuatan yang dilakukan secara sadar atau mengerti terlebih dahulu tanpa paksaan atau tekanan dari orang lain.
Dalam novel ini memiliki banyak tokoh yang sifatnya berbeda-beda. Tetapi dalam pemaparan makalah ini kira hanya mengambil tokoh tan peng liang asal gang tamim bandung, tan peng liang asal gang pinggir semarang dan tinung karena dalam pesan moral mereka paling menonjol.
Kita mulai dari tan peng liang gang bandung. Diceritakan tan peng liang merupakan orang yang berprofesi sabagai rentenir. Ia selalu menyiksa jika ada orang yang memiliki hutang tidak mau bayar baik hutang pokok maupun bunganya.
Seorang rentenir sering menjadi lalim seperti tan peng liang dan melihat kelakuan itu tinung takut. tak sekali dua, sejak tinung disimpan di sewan, dia melihat bagaimana dengan kejamnya pan peng liang menyuruh centeng-centengnya menyiksa orang yang terlambat membeyar. Seseorang yang belum membayar pada waktu yang ditentukan, dinaikkan lagi bunga uang makin lama makin tinggi. Diantara orang-orang sekitar tangerang yang pernah bermasalah dengan tan peng liang, adalah boning yang digebuk sampai gigi-giginya rontok, membuat tinung yang sempat menyaksikan benar-benar ngeri, terbawa dalam mimpi (hal 22)
Dalam kutipan diatas menjelaskan bahwa moral seorang tan peng liang tidaklah baik karena ia selalu menyiksa orang yang terlambat membayar utang-utangnya. Selain itu juga tan peng liang selalu menaikkan bunga utang jika tidak bisa membayarnya tepat waktu. Hukuman yang dijatuhkan oleh tan peng liangpun terbilang sangat kejam karena menyiksa secara fisik sampai yang peling kejam membunuh orang tersebut.
Kedua adalah tan [eng liang dari semarang. Ia adalah memiliki moral ganda. Distu sisi ia baik yaitu membantu pergerakan PNI dan disatu sisi ia menciptakan uang palsu yang sngat merugikan Negara.
“Terima kasih atas bantuan finansiilmu buat pergerakan kami disini.” Kata soetardjo rahardjo.
“Itu soal kecil.”kata tan peng liang.. pokoknya kalau ada kesulitan jangan sungkan-sungkan kontak aku sampean mesti aku bantu. (hal 90)
Dalam kutipan di atas jelas bahwa tan peng liang semarang memuiliki akal baik yaitu membantu pergerakan PNI dimana pergerakan itu merupakan pergerakan yang dibentuk untuk melawan penjajah dari Indonesia. Berbeda dengan tang peng liang dari bending yang malah menytuksa rakyat kecil yang tidak berdosa karena tidak mampub membayar utang-utangnya.
Dibalik kebaikan tan peng liang dari semarang ini juga terdapat moral yang sangat buruk yaitu membuat unga palsu.
Diruang bawah tanah ini ada mesin cetak dan pelbagai peralatan lain. Dotengahnya ada peti-peti. Isinya uang-uang kertas. Dari mana pula uanga kertas sebanyak itu? Jawabnya tak lain adalah dari kemampuan otak tan peng liang melakukan tindakan criminal melawan hokum. Itu semua uang palsu(102)
Kebaikan tan peng liang kepada pergerakan PNI juga dibarengi dengan keburukan yang melawan hokum. Yaitu dengan menciptakan uang palsu dengan menggunakan mesin cetak. Ia menggunakan ruang bawah tanah guna keamanaan diri pihak yang berwajib. Uang palsu itu dicetak untuk disebarkan kemasyarakat. Tindakan ini sangat merugiakn masyarakat banyak karena barang yang tan peng liang beli menggunakan uang palsu, itu berarti orang yang berjualan tidak memiliki peluang untuk membeli barang dagangannya lagi dengan uang palsu.
Selain menciptakan xuang palsu ia juga melakukan penyuapan terhadap JP Verdoorn demi kepentingannya secara pribadi.
Sebenarnya JP Verdoorn segera tahu pula, bahwa isi amplop itu anga tapi ia berpura-pura pula. Apa ini? Katanya dalam nada sebolehnya. Menunjukkan sikap lugu jauh dari perbuatan-perbuatan dosa.
Ini sekedar bingkisan tuan inspektur, kata tan peng liang sambil mendekatkan amplop itu kehadapan JP Verdoorn..(152)
Kutipan itu menjeskan bahwa tan peng liang melakukan penyuapan kepada JP Verdoorn untuk kepentingannya. Ini jelas perbuatan yang sangat buruk dari tan peng liang yang tidak boleh untuk ditiru. Karena pada kehidupan nyata perbuatan menyuap merupakan perbuatan yang melanggar hokum dan berdosa bagi orang yang melakukannya secara agama baik yang menyuap dan di suap. Apalagi demi kepentingan pribadi.
Tan peg liang juga tidak senang jika urusan pribadinya diganggu oleh orang lain, apa lagi tidak sefaham dengan apa yang dilakukan oleh tan peng liang. Ia akan menyingkirkan orang yang mengganggu kepentingannya.
“hajar itu juru warta, kita sudah ajak dia berbaik, dia tidak mau. Ya wis, sudak, sikat. Bagaimana caramu menangani terserah.(190)
Dari kutipan itu terlihat bagi tan peng liang siapa saja yang tidak sejalan dengannya oaring tersebut harus disingkirkan atau dalam istilah dibunuh karena telah mengganggu kepentingan probadinya. Ini dilakukan dengan cara menyuruh kaki tangannya yyaitu tan soen bie
Tokoh yang ketiga dan sekaligus tokoh utama dalam novel ini. Tinung adalah seorang ca bau kan. Bagi mereka yang mengerti bahasa Cina, “Ca-bau-kan” berarti “wanita”. Namun, sebagian besar menyebutnya “cabo” yang berarti wanita tidak bermoral. Terlihat dari kutipan dibawah ini
Dan perahu menuju ke utara, dibagian yang sunyi. Sinar purnama agak condong terhalang pepohonan antara rengas dan bamboo. Disana tinung memulai babak baru kehidupannya, mengalami perasaan tertentu sambil menolak dan membuang perasaan-perasaan itu dari ingatannya. Setelah kencan pertama ini usai, masih ada lagi malam-malam lain, yang kedua, ketiga, kesepuluh, keduapuluh, dan seterusnya, tinungpun menjadi perempuan populeh dikali jodo, dijuluki chixiang bahasa kuo-yu artinya sangat masyur dan dicari-cari. (16)
Dalam kutipan itu jelas tinung memiliki moral yang tidak baik. Ia menjadikan dirinya sebagai wanita penghibur untuk menghilangkan semua yang ada dalam benaknya. Selain itu tuntutan ekonomi tinung rela menjual dirinya untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Ini merupakan pilihan terakhir tinung akan tetapi Meskipun pilihan tinung yang terakhir tetapi itu merupakan pilihan yang menjurumuskan pada moral yang tidak baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar