Ditulis oleh Wahyusi Siswanto
Petunjuk praktis model pendidikan etika di SMA melalui pembelajaran sastra ini meliputi (1) pengertian, (2) langkah, (3) hal yang perlu diperhatikan, (4) contoh, (5) variasi. Berikut ini akan dikembangkan salah satu model yang akan digunakan
2. Manfaat
Pertama, siswa bisa mempertajam dan mengembangkan rasa keindahan dalam dirinya. Rasa keindahan itu bisa dihadirkan oleh isi dan bentuk cerpen yang didiskusikannya. Kedua, siswa bisa mengembangkan sikap berempati dan bersimpati terhadap tokoh-tokoh yang diceritakan pengarang dalam cerpennya Ketiga, siswa bisa merefleksikan hasil diskusinya itu dalam berbagai bentuk, seperti tanggapan, tulisan, diskusi. Refleksi itu juga bisa berbentuk penghayatan dan pengamalan nilai-nilai etika yang ada di dalam cerpen. Keempat, membelajarkan siswa tentang apa yang dialami dan dirasakan ketika mendiskusikan cerpen.
3. Langkah
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam pembelajaran etika melalui mendiskusikan cerpen ini. Kali ini akan diberikan tiga alternatif model beserta langkah-langkahnya.
Alternatif Model 1
Alternatif Model 2
Alternatif Model 3
4. Hal yang Perlu Diperhatikan
(1) Cara membagi kelompok harus kreatif, misalnya dengan cara siswa diminta untuk memilih kertas yang bertuliskan “Siti Nurbaya”, “Belenggu”, “Layar Terkembang”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Siswa berkelompok sesuai dengan kertas yang dipilih.
(2) Masing-masing kelompok hendaknya ditunjuk ketua dan sekretaris
(3) Semua siswa dimotivasi untuk ikut aktif mengemukakan pendapatnya
5. Contoh Pembelajaran
a. Tanya Jawab Permasalahan
Pernahkah kalian menghadiri keluarga yang sedang berduka karena ada salah satu anggotanya meninggal dunia? Bagaimana suasana keluarga tersebut? Bagaimana suasana orang-orang yang melayat? Apa saja yang dibicarakan pelayat pada saat menunggu proses pemakaman?
b. Membaca Cerpen
(1) Bacalah cerpen di bawah ini dengan cermat, maksimal 10 menit!
KECAP NOMOR SATU DI SEKELILING BAYI
Mayat bayi‑satu‑tahun itu tergeletak di atas dipan besar. Penerangan kamar 60 watt. Dikeliling dipan orang-orang duduk bersila.
Udara panas, Setiap muka kelihatan sedih. Bintik-bintik keringat menyerang tubuh mereka
Orang-orang berdatangan. Mereka tambah memenuhi kamar itu. Udara makin terasa panas.
“Jam berapa tadi meninggal?”
“Jam tujuh.”
“Kenapa sampai meninggal?”
Dengan wajah kosong, seseorang menjawab.
“Itulah apa yang sudah diramalkan oleh anak saya. Anak saya tertua mahasiswa fakultas kedokteran. Sudah tingkat terakhir. Kalau tidak ada halangan tahun depan dia sudah jadi dokter penuh.
Kemudian wajah yang kosong ini sedikit demi sedikit berubah.
“Anak saya yang hampir lulus jadi dokter itu kemarin mengatakan,’Wah, anak bayi tetangga kita itu kok begitu pucat mukanya. Saya tahu, kalau tidak cepat-cepat diobati harapan hidupnya tinggal lima puluh persen. Kemungkinan besar sakitnya adalah pendarahan otak bayi. Sedangkan obat itu baru diketemukan tiga tahun yang lalu. Jadi harus cepat-cepat diobati.’ Begitulah ramalan anak saya yang sudah hampir jadi dokter itu.”
Banyak yang duduk di situ menganggukkan kepala. Seorang lain lekas menyahutnya.
“ Kalau anak saya yang sudah jadi dokter ada tiga jumlahnya. Satu, yang tertua, jadi kepala rumah sakit di Medan. Dia sangat disenangi oleh anak buahnya. Dua, jadi dokter militer di Semarang. Pangkatnya mayor. Padahal dia masih muda, tapi pangkatnya sudah mayor. Tiga, berdinas di Biak. Sebentar lagi dia mau pindah dinas ke sini, juga mau jadi kepala rumah sakit. Sayang, dia belum bertugas di sini. Seandainya sudah, pasti bayinya pak Su ini dapat ditolongnya. Anak saya itu terkenal sebagai dokter yang dermawan. Sayang.
Banyak orang di situ mengangguk-anggukkan kepala. Mereka datang ke situ untuk menjenguk mayat, tapi rupa-rupanya kedukaan itu sendiri sekarang jadi nomor dua. Seseorang berkumis yang duduk di pojok agaknya senang mendengar percakapan ini. Akan tetapi rasanya lebih senang kalau dia juga ikut turun bicara. Maka bicaralah dia.
“0, jadi puteranya pak Danu jadi dokter di Biak? Kalau begitu pasti kenal dengan anak saya. Anak saya jadi kepala jawatan imigrasi di sana. Dia terkenal. Setiap penduduk pasti kenal dengan dia. Dia sarjana tamatan Yale University Amerika. Ketika sekolah dulu dia pandai sekali. Makanya dia dapat scholarship ke Amerika. Tidak sembarangan orang biasa mendapat kesempatan seperti itu kalau tidak betul-betul pandai.”
Lagi, banyak orang-orang yang duduk di situ menganggukkan kepala. Seorang berambut putih di kepalanya tampak senang juga akan percakapan itu. Tapi tidak lebih puas agaknya kalau dia pun urun bicara maka urun bicaralah dia.
“O, kalau begitu sama dengan anak saya. Anak saya juga pandai sekali. Ketika lulus SMA dulu matematikanya sepuluh. Analitnya sembilan. Kimia sepuluh. Bahasa Inggeris delapan. Dia mendapat hadiah kejuaraan nomor satu. Maka dia juga mendapat tugas belajar ke luar negeri.”
“Di luar negeri pun dia lulus dengan hasil baik.”
Lagi, orang-orang di situ mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah mereka lupa kedatangan mereka ke situ untuk menyatakan duka. Agak lama percakapan terhenti. Mungkin mereka betul-betul sedang merenungkan kedukaan yang baru saja menimpa oleh keluarga ini, mungkin mereka sedang meramu cerita-cerita yang baik untuk disuguhkan lagi kepada mereka yang hadir. Atau mungkin kedua-duanya.
Seorang perempuan tua datang, berdiri dekat pintu. Kepalanya ditongolkan ke dalam kamar, bicara kepada orang-orang yang mengelilingi mayat di situ.
“Udara panas. Bayi ini juga kepanasan. Kasur dan guling-guling yang mengepit itu menambah panas. Bayi harus dipindah ke atas meja saja, biar agak dingin.”
Secara serentak, orang-orang yang duduk itu berdiri. Mereka akan menawarkan jasa memindah mayat itu. Kalau mereka tidak urun tenaga, nanti merasa malu.
Dari luar beberapa orang masuk mengangkat meja. Meja ini ukuran biasa. Satu kali satu tujuh lima. Diangkat oleh seorang saja sebetulnya sudah cukup. Tapi yang menggotong ada lima orang. Dan orang-orang yang berdiri di dalam kamar itu segera mengangkat meja itu. Lebih dari lema belas orang berusaha untuk mengangkat meja. Mereka betul-betul sadar, satu orang saja atau paling banyak dua cukup untuk mengangkat meja. Tapi kalau tidak ikut-ikut mencoba mengangkat, mereka takut disangka kurang sopan. Mereka malu.
Meja itu pun sekarang berdiri di sebelah dipan. Mayat segera dipindahkan. Tidak banyak yang berusaha untuk ikut mengangkat mayat itu. Mungkin ngeri. Mayat itu segera ditutup dengan selembar kain indah.
Tiba sekarang gifiran dipan akan dipindahkan. Kasur harus diangkat keluar. Guling-guling idem. Baru dipannya. Untuk mengangkat kasur ini sebetulnya cukup dibutuhkan tenaga satu orang. Tapi semua orang serempak mencoba-coba ikut-ikut mengangkat kasur. Sekarang giliran dua batang guling dikeluarkan. Satu orang saja sudah cukup mengerjakan ini. Atau paling banyak dua. Tapi mereka berrebut-rebutan kembali untuk membawa dua bantal ini keluar. Kalau tidak begitu, mereka malu disangka kurang sopan. Takut kalau tidak ikut merasakan duka di situ.
Kembali mereka mengelilingi mayat itu lagi. Sekarang mereka telah duduk lagi. Seseorang dengan mengipas-ngipas mukanya berkata,
“Wah, panas sekali.” Kemudian dengan nada menyalahkan disambungnya, ”Sebetulnya di bawah bayi itu harus ditaruhkan sedikitnya satu blok es. Apalagi panas begini.”
Tapi dia tidak berusaha untuk mencari es. Padahal tadi dia ikut-ikut mengangkat meja, kasur, guling dan dipan yang sama sekali tidak membutuhkan tenaganya. Tapi untuk mencari es yang perlu dikerjakan, dia hanya berkata dengan nada mencela belaka.
Seseorang di sampingnya agaknya tidak puas dengan celaan temannya itu. Maka dia pun berkata,
“Bukan hanya es saja, tapi sebetulnya pada setiap kaki meja itu juga harus dikasih kobokan isi air. Kalau tidak begitu nanti semut bisa merayap ke atas.”
Dia berkata begitu. Tapi dia tidak berusaha mendapatkan kobokan dan air. Tadi dia juga ikut-ikutan mengangkat meja, guling, kasur dan dipan. Seseorang lain segera menyambungnya,
“Memang begitu. Anak saya yang menjadi biolog ahli semut pernah mengatakan begitu. Dia sekarang jadi dosen biologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Dia masih muda, tapi sebentar lagi akan diangkat jadi profesor. Teman-temannya ngiri. Tapi saya bilang kepadanya, jangan kecil hati kalau teman-temannya ngiri. Dia pandai dan satu-satunya ahli semut di Asia Tenggara ini, sudah sepantasnya jadi profesor, meskipun umurnya masih muda sekali.”
Dua orang anak kecil masuk kamar itu. Yang seorang membawa ember kecil berisi air. Satunya membawa empat kobokan. Orang-orang di situ sekali lagi berebutan untuk menawarkan jasanya. Kerja itu ditanggulangi oleh lebih kurang lima belas orang.
Setelah selesai, mereka duduk kembali. Wajah-wajah mereka memancarkan kepuasan karena merasa berjasa. Tiap kaki meja sudah terlandas pada kobokan berisi air, sehingga semut tidak mungkin merambat ke atas. Orang yang tadi menyalahkan tidak ada kobokan dan air merasa bangga, meskipun kobokan dan air itu ada di situ bukan karena jasanya. Setidaknya dia merasa itu idenya.
Udara makin panas. Bintik-bintik keringat makin banyak pada tubuh mereka. Seorang yang berbadan kekar mengusap-usa[ peluhnya. Kemudian berkata,
“Panas benar. Tapi tidak sepanas dulu pada jaman gerilya ketika saya memimpin penyerbuan Belanda di Mojokerto. Waku itu saya pegang pimpinan pasukan. Saya tahu bahwa musuh kita, Belanda, tidak tahan udara panas. Waktu itu belum ada air-conditioning. Saya serbu mereka. Mereka kocar-kacir. Mental mereka turun. Karena itu saya mendapat bintang jasa.”
Orang-orang di situ sekali lagi mengangguk-anggukkan kepala. Seolah mereka lupa dating ke situ untuk apa. Seseorang kelihatan merenung. Rupanya dia merenungkan duka yang ada di situ. Tahunya dia sedang meramu pertanyaan dalam otaknya supaya juga dapat bercerita yang lebih hebat.
“Maaf, sekarang apa sampeyan masih aktif di Angkatan Darat?”
“Oh, masih.”
“Kalau boleh tabu, apakah pangkat sampeyan sekarang?”
“Mayor.”
“O, begitu. Adik saya pangkatnya kolonel. Sekarang dia jadi atase militer di Koln. Sudah tiga tahun dia di sana. Sebetulnya dia ingin pulang ke tanah air. Tapi karena dia cakap, tenaganya tetap dibutuhkan di sana. Suratnya yang terakhir mengatakan, dia sekarang sudah diusulkan naik pangkat jadi brigjen.
Seorang laki-laki masuk kamar. Dia duduk menemani mereka. Orang ini ayah si bayi yang mayatnya terlentang di atas meja. Mereka semua menunjukkan muka serius.
“Jam berapa tadi?” Tanya seseorang.
“Jam tujuh” jawab tuan rumah dengan sayu.
“Sudah dibawa ke dokter sebelumnya?”
“Sudah. Sudah saya periksakan pada beberapa dokter. Tapi rupanya memang Tuhan tidak mengijinkan saya untuk momong bayi ini.
Mereka bercakap-cakap sampai fajar merekah. Tuan rumah kadang-kadang menemui mereka, kadang-kadang meninggalkan mereka karena banyak urusan yang harug diselesaikannya. Setiap tuan rumah meninggalkan mereka, mereka bercerita lagi, seolah lupa uutuk apa mereka datang ke sana. Dan setiap tuan rumah menunggu mereka, mereka berwajah serius, menandakan mereka pun ikut merasakan kedukaan itu.
c. Mendiskusikan Cerpen
(1) Diskusikanlah masalah-masalah di bawah ini!
(a) Bagaimanakah sikap tamu di cerpen “Kecap Nomor Satu di Sekeliling Bayi”?
(b) Bagaimanakah tanggapan Anda terhadap sikap tamu tersebut?
(c) Bagaimanakah seharusnya sikap tamu pada saat melayat?
(2) Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan memilih 3 (selalu), 2 (sering), 1 (kadang-kadang), atau 0 (tidak pernah). Isilah dengan menuliskan angka!
No
Daftar Pertanyaan
Jawaban
1.
Apakah Anda hadir untuk mengantar pemakaman pada saat ada tetangga yang meninggal?
2.
Apakah anda menghibur hati orang yang sedang berduka atau mengalami musibah
3.
Apakah Anda mengindarkan diri dari bergurau pada saat menghadiri pemakaman seseorang
4.
Apakah Anda menghindarkan diri menceritakan kehebatan Anda atau keluarga Anda?
5.
Apakah Anda membantu meringankan orang yang mendapatkan musibah
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan memberi tanda centang (V) pada kolom setuju atau tidak setuju!
No
Daftar Pertanyaan
Setuju
Tidak Setuju
e. Variasi
Model diskusi ini bisa dibuat dengan beberapa variasi. Variasi itu antara lain dalam bentuk sebagai berikut.
(1) Dibuat dua kelompok yang berbeda pendapat.
(2) Masing-masing kelompok diminta untuk menyampaikan pendapat dengan alasan-alasannya.
Strategi
(1) model bercerita, (2) model bermain, (3) model dialog, (4) model bernyanyi, dan (5) model sosio drama
Mmmmmmmmmmmmmm
MANGGUT-MANGGUT SEMACAM
INI BIASAKAH?
Air conditioning dipasang. Udara sejuk menyerang ruangan indah itu. Lampu terang. Dekorasi menyedapkan mata. Meja-meja mengkilat. Semua sudah diatur oleh pelayan. Tamu-tamu penting akan segera datang. Rapat penting akan segera diselenggarakan. Istilah populernya, briefing.
Tamu berdatangan satu-satu. Dipersilakan duduk pada kursi masing-masing. Semua mengagumi suasana yang indah dalam ruangan megah itu. Hanya kursi-kursi Bapak-Bapak yang terletak di deretan depan belum terisi. Biasa. Bapak-Bapak biasa kerja banyak. Kerja keras. Maklum kalau datang terlambat.
Biasa. Biasa. Biasa.
Setelah jam karet molor-molor, satu persatu Bapak-Bapak itu datang. Seolah mereka telah terbiasa oleh klise yang biasa diucapkan: maaf terlambat. Repot. Banyak kerja. Ngurus ini. Ngurus itu. Ada tamu penting.
Dan sebagian besar yang hadir, itu orang-orang yang tidak termasuk Bapak-Bapak, juga rupanya telah terbiasa mendengar klise semacam itu. Mereka manggut-manggut. Mereka maklum memang Bapak-Bapak selalu sibuk. Selalu banyak kerja. Selalu banyak urusan. Selalu ada tamu-tamu penting. Mereka manggut-manggut. Biasa. Biasa. Biasa.
Setelah lengkap semua, protokol membuka suara.
“Yang terhormat Bapak Kepala Perhubungan, Yang terhormat Bapak Kepala Pariwisata. Yang terhormat Bapak Kepala Radio. Yang terhormat Bapak Kepala Turis Kompor Company, dan saudara-saudara calon guides.”
“Saya ucapkan terima kasih banyak atas kehadiran Bapak-Bapak dan saudara-saudara. Pertemuan briefing ini segera kita mulai. Tapi kalau ada hal-hal yang kurang menyenangkan dalam penyelenggaraan kami, kami mohon maaf sebesar-besarnya. Pemberitahuan kepada kami bahwa malam ini akan diadakan briefing datangnya terlalu mendadak. Amat sempit waktunya untuk mengadakan persiapan yang sebaik-baiknya. Akan tetapi karena kami sudah terbiasa dengan pekerjaan begini, maka kami pun sekarang agaknya dapat mengadakan pertemuan yang, yah, katakanlah, sempurna. Seandainya protokol briefing ini tidak diserahkan kepada kami, mungkin briefing ini akan macet.”
“Pertama-tama kami mohon Bapak Trunodjojo, B.A. Kepala Turis Kompor Company untuk memberikan sambutan yang pertama. Kami mohon yang singkat saja. Sebab penjelasan lebih lanjut dapat disambung nanti.”
Trunodjojo, B.A. mendehem beberapa kali. Dasi dipegang-pegangnya. Keringat di dahi diusap-usapnya.
“Yang terhormat Bapak Kepala Perhubungan, Yang terhormat Bapak Kepala Pariwisata, Yang terhormat Bapak Kepala Radio, dan saudara-saudara calon guides.”
“Saya ucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak-Bapak dan saudara-saudara. Kepada Bapak Residen yang telah meminjamkan ruangan ini juga saya ucapkan terima kasih.”
“Begini, saudara-saudara. Seperti yang saudara-saudara ketahui kami telah memilih saudara-saudara untuk menjadi calon guides. Untuk pertama kali ini, daerah kita mendapat kehormatan untuk dikunjungi turis. Ya, baru pertama kali inilah. Kedatangan turis ini adalah berkat restu Bapak-Bapak yang semuanya hadir di sini sekarang. Tapi juga berkat keuletan saya untuk membuat propaganda-propaganda mengenai daerah kita ini yang saya lakukan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Khusus untuk membuat propaganda mengenai daerah ini saya sudah menghubungi Yang Mulia Bapak Menteri Pariwisata di Ibu Kota. Beliau memuji-muji saya, karena menurut Beliau, usaha saya amat baik. Saya sudah direstui oleh Beliau. Kemudian perjalanan-perjalanan ke luar negeri pun telah saya adakan. Semua orang menyambut propaganda saya ini dengan penuh antusiasme. Tapi mengenai perjalanan-perjalanan saya di luar negeri akan saya ceritakan nanti saja. Pengalaman-pengalaman ini sangat penting untuk pegangan para guides.”
“Kedatangan turis ini berarti penanaman devisa bagi negeri kita. Maka dengarlah baik-baik wejangan Bapak-Bapak ini nanti. Catatlah baik-baik. Camkanlah baik-baik. Ingatlah baik-baik. Kalau kita menerima turis dengan baik, negara kita pun akan punya nama baik. Maka, perhatikanlah wejangan Bapak-Bapak ini.”
Bapak-Bapak manggut-manggut. Sebagian besar calon guides manggut-manggut. Protokol mempersilakan Bapak Kepala Pariwisata untuk menyambut. Beliau berdiri. Dipandangilah hadirin dengan muka yang gagah. Angkat bicara.
“Saudara-saudara calon guides. Sayang waktu yang tersedia bagi saya untuk memberikan briefing ini pendek sekali. Seandainya ada waktu cukup, saudara-saudara pasti saya ceramahi. Tapi berhubung waktunya singkat saya akan uraikan garis-garis besarnya saja.”
“Menjadi guides berarti menjadi wakil negara. Saudara-saudara nanti akan mengikuti terus para turis ini. Dari saudara-saudaralah mereka melihat kepribadian bangsa kita. Makanya saudara harus hati-hati. Harus selalu mencerminkan kepribadian bangsa. Harus jujur.”
“Mungkin ucapan-ucapan ini tidak jelas kalau tidak saya tambah dengan pengalaman-pengalaman saya. Saya sudah menjelajah sembilan negara.”
Sebagian hadirin manggut-manggut. Bangga karena yang memidatoi sudah pernah keliling sembilan negara. Agaknya Bapak Trunodjojo, B. A. kalah pengalaman.
“Saya pergi atas tanggungan negara. Ini berarti saya orang penting. Memang sekarang banyak orang pergi ke luar negeri atas biaya sendiri. Tapi saya lain. Saya pergi dibiayai negara. Berarti saya orang pilihan.”
“Dengarlah baik-baik. Ini pengalaman saya di negeri Celana Kolor. Saya datang ke sana mengepalai misi negara kita untuk mengadakan observasi pada pabrik kelereng. Saya disambut dengan baik. Seorang guide cantik jelita disediakan khusus untuk saya. Saya diantar ke mana-mana. Dia tahu siapa saya. Waktu itu saya menjadi Kepala Proyek Penelitian Kemungkinan Pendirian Pabrik Kelereng. Maka saya dihormati, karena dia tahu saya orang penting di negara kita ini. Ke mana-mana diantarkannya saya. Segala permintaan saya yang berada di dalam garis-garis kesopanan, dia layani dengan ramah-tamah. Karena itu saudara-saudara saya minta untuk berbuat persis seperti itu. Meskipun para turis yang akan saudara-saudara hadapi nanti tidak sepenting kedudukan saya ketika ke luar negeri dulu, saudara-saudara harus memperlakukan mereka seperti orang-orang penting. Buatlah hati mereka senang. Segala permintaan yang berada di garis-garis kesopanan sedapat mungkin harus dijalani.”
Sebagian besar hadirin manggut-manggut. Kepala Pariwisata kelihatan senang sambutannya dianggut-angguti hadirin. Disambungnya.
“Ini pengalaman lainnya. Waktu itu saya memimpin Misi Panitia Perencana Kemungkinan Pendirian Pabrik Batu Bata. Proyek yang saya pimpin dulu bangkrut, berkat rongrongan kaum kotrarevolusioner. Maka oleh pemerintah yang telah mengetahui prestasi kerja saya, saya dipindah pada proyek baru itu.”
“Maka berangkatlah saya ke negeri lain. Seperti saudara-saudara ketahui, negara Kancut Kolor adalah negara produksi batu bata terbesar di bilangan tujuh planet.”
“Saya juga mendapat guide yang baik. Orangnya manis. Montok. Untuk menyingkat waktu, baiklah saya ceritakan garis besarnya saja. Seandainya waktu tidak terbatas, saya sanggup menceramahi saudara-saudara paling sedikit tiga jam lamanya. Mungkin dalam kesempatan lain waktu para guides akan saya upgrade, karena saya sekarang telah dipandang mampu oleh Pemerintah mengenai soal perguidesan. Bukankah saya Kepala Pariwisata?”
“Begini. Saya pecandu kopi. Tanpa kopi badan lemes. Tanpa kopi tidak bisa kerja. Tanpa kopi tidak bisa ke belakang. Pagi itu saya minta pada guide saya untuk disediai kopi. Dia tidak mau memberi. Saya minta lagi. Dia tidak mau memberi lagi. Lantas guide itu menerangkan, “Pak, kopi bukan produksi negeri kami. Karena itu kami tidak akan memberi kopi sama Bapak. Kami akan memberi produksi kami sendiri. Kami akan beri air saja. Air adalah produksi kami terbesar setelah batu bata. Mintalah air untuk apa saja, pasti Bapak kami kasih. Kalau Bapak mau merendam diri dalam air pun, air itu kami sediakan.”
“Inilah kata-kata mutiara yang saya dapatkan dari guide saya. Dia membanggakan kepribadian negaranya. Begitu juga nanti saudara-saudara harus membanggakan kepribadian negara kita.”
Pengalaman-pengalaman penting lainnya diceritakan. Dan sebagian besar hadirin manggut-manggut. Dan beliau senang.
Sekarang, waktunya Bapak-Bapak lain memberikan sambutan. Bapak-Bapak pun memberi sambutan. Semua berkisar pada tema, bahwa kita harus menunjukkan kepribadian kita. Dan semua diberi ilustrasi berdasarkan pengalaman-pengalaman beliau-beliau di luar negeri, dengan “saya” sebagai pelaku utamanya.
Sesudah semua Bapak-Bapak menyambut, Kepala turis Kompor Company angkat bicara.
“Demikianlah tadi wejangan Bapak-Bapak. Hendaknya saudara-saudara camkan betul-betul. Nanti akan saya beri penjelasan lengkap mengenai teknis penerimaan para turis ini. Semua akan saya jelaskan sampai mendekati. Misalnya mengenai acara kuda lumping untuk menarik para turis. Dan acara balap kucing. Acara balap anjing. Acara balap kambing. Ya, acara balap kambing nanti akan menjadi salah satu acara yang paling menarik. Untuk ini saja telah khusus mendatangkan saudara Gondodiwirjo, B. A., expert balap kambing.”
“Tapi penjelasan-penjelasan saya nanti akan makan waktu banyak. Karena Bapak-Bapak di sini ada acara lain, maka penjelasan-penjelasan itu akan saya berikan setelah Bapak-Bapak ini meninggalkan ruangan.”
Seorang Bapak berdiri, “Ya, sebetulnya kami ingin mengikuti acara briefing ini sampai selesai. Tapi karena kami ada tugas-tugas penting lainnya, kami terpaksa meninggalkan briefing ini.
Hadirin manggut-manggut. Baru saja Bapak-Bapak akan berdiri meninggalkan kursi masing-masing untuk menghadiri acara penting lainnya, sorang calon guide mengangkat tangannya.
“Apakah kami bisa bertanya?”
Bapak-Bapak duduk lagi. Penanya itu melanjutkan pembicaraannya.
“Kalu saya tidak salah tangkap, Bapak Trunodjojo (yang bersangkutan menjadi merah mukanya, karena penanya lupa menyebutkan B.A.-nya) tadi mengemukakan bahwa beliau sudah bertemu dengan Yang Mulia Bapak Menteri Pariwisata di Ibu Kota. Malahan dipuji-puji segala. Malahan dikasih restu segala.
Penanya berdehem-dehem, kemudian dilanjutkannya pembicaraannya.
“Begini, Bapak. Meskipun saya ini jelek, tapi sopir Yang Mulia Menteri Pariwisata di Ibu Kota itu adalah kakak ipar saya, namanya Min Kebo. Ketika saya datang ke Ibu Kota beberapa waktu yang lalu, Min Kebo bercerita bahwa Bapak Trunodjojo (sekali lagi yang bersangkutan wajahnya jadi merah padam) berusaha hendak menemui Yang Mulia Menteri. Tapi kebetulan Yang Mulia sibuk. Maka bundel-bundel itu Bapak sampaikan kepada Min Kebo.
“Nanti saya jelaskan” potong Bapak Trunodjojo dengan cekatan. “Sekarang Bapak-Bapak ini akan meninggalkan ruangan.”
“Baiklah kalau akan dijawab nanti. Tapi sekarang ada penanya lainnya yang mungkin ada baiknya kalau didengarkan oleh Bapak-Bapak ini.” Dia berdehem-dehem. Dilanjutkannya.
“Kalau tidak salah tangkap, salah seorang Bapak tadi mengemukakan bahwa kalau ada permintaan-permintaan di dalam garis kesopanan harus dijalani dengan baik. Apakah hal ini berarti ada perbuatan wakil-wakil kita di luar negeri—tapi bukan Bapak-Bapak, lho—yang minta berbuat di luar garis kesopanan? Sekali lagi maksud saya bukan Bapak-Bapak. Sebab Bapak-Bapak mungkin orang yang sopan-sopan. Tapi mungkin itu orang-orang yang kontrarevolusioner.”
Bapak-Bapak manggut-manggut.
“Ya, ya, yaaahhh….
Si penanya terus mengoceh.
“Begini, Bapak-Bapak. Kalau begitu saya punya usul. Seperti tadi dikemukakan, balap kambing adalah kepribadian kita. Ini kepribadian yang tradisionil. Maksud saya yang turun-temurun. Bagaimana kalau saya usulkan menyuguhkan semua yang baru? Sesuatu yang pada masa mutakhir ini menjadi kepribadian modern kita?
Hadirin berdesis-desis, bertanya-tanya, apakah gerangan kepribadian itu. Dengan tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya lagi, si penanya melanjutkan pembicaraannya.
“Begini. Tadi ada balap macam-macam. Tapi belum ada satu tontonan baru buat tamu-tamu asing nanti. Yaitu tontonan balap mencari kambing hitam. Bukankah ini kepribadian baru kita?”
Tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya pula, penanya terus bicara.
“Di samping itu begini. Kalau tidak salah tangkap salah seorang Bapak tadi bangga karena disuruh merendam diri dalam air. Kata-kata guidenya dianggap kata-kata mutiara, karena itu mencerminkan kepribadian bangsanya. Bukankah kita punya kepribadian baru lagi, yang bisa dianjurkan pada tamu asing? Bapak ini tadi disuruh merendam dirinya dalam air, karena air produksi yang besar dalam negara itu. Kita juga punya produksi besar, yakni kecap. Bukankah semua manusia-manusia kita ini pandai ngecap? Suruhlah mereka nanti merendam dirinya dalam kecap…”
Penanya itu dicoret namanya sebagai calon guide. *** AGUSTUS 1970
PERGANTIAN TAHUN 2004
rabu, 31 desember malam
anak-anak dan istriku mengajak keluar
merayakan awal tahun dua ribu empat
anak lelakiku ingin menyaksikan kembang api
rencananya akan dinyalakan tepat pukul dua puluh empat
anak perempuan dan istriku minta diantar ke pasar raya
kubujuk agar mereka tidur sore untuk kemudian bangun malam harinya
aku berharap mereka lelap hingga pagi
biarlah kehilangan waktu ini
mereka lalui di dunia mimpi
asal ini tidak mereka rayakan di pasar raya dengan menyulut kembang api
(Malang, 1 Januari 2004)
MALAM HAJATAN
malam ini memang bukan malam sepi mencekam
juga bukan gegap gempita musik yang berdentam
dari vcd player yang kadang sering diulang-ulang
malam ini ramai suara para undangan
bingung mencari uang sumbangan
sekian banyak hajatan
kadang terasa berlebihan
(Malang, Februari 2004)
MERENUNG
(1) Pengertian
Merenung adalah model pembelajaran etika melalui pembelajaran sastra dengan cara membelajarkan murid untuk merenungkan hal-hal yang berkaitan dengan kebaikan dan keburukan dengan stimulus karya sastra
(2) Langkah
(3) Hal yang Perlu Diperhatikan
Petunjuk praktis model pendidikan etika di SMA melalui pembelajaran sastra ini meliputi (1) pengertian, (2) langkah, (3) hal yang perlu diperhatikan, (4) contoh, (5) variasi. Berikut ini akan dikembangkan salah satu model yang akan digunakan
- Pengertian
2. Manfaat
Pertama, siswa bisa mempertajam dan mengembangkan rasa keindahan dalam dirinya. Rasa keindahan itu bisa dihadirkan oleh isi dan bentuk cerpen yang didiskusikannya. Kedua, siswa bisa mengembangkan sikap berempati dan bersimpati terhadap tokoh-tokoh yang diceritakan pengarang dalam cerpennya Ketiga, siswa bisa merefleksikan hasil diskusinya itu dalam berbagai bentuk, seperti tanggapan, tulisan, diskusi. Refleksi itu juga bisa berbentuk penghayatan dan pengamalan nilai-nilai etika yang ada di dalam cerpen. Keempat, membelajarkan siswa tentang apa yang dialami dan dirasakan ketika mendiskusikan cerpen.
3. Langkah
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam pembelajaran etika melalui mendiskusikan cerpen ini. Kali ini akan diberikan tiga alternatif model beserta langkah-langkahnya.
Alternatif Model 1
- Siswa diajak bertanya jawab tentang satu permasalahan yang ada kaitannya dengan cerpen yang akan didiskusikan.
- Siswa membaca cerpen
- Siswa dengan cara tertentu membentuk kelompok
- Siswa berdiskusi untuk menentukan:
- isi dan nilai-nilai (etika) yang terdapat di dalam cerpen,
- menunjukkan relevansi isi dan nilai-nilai (etika) yang terdapat di dalam cerpen dengan situasi sekarang;
- menyimpulkan isi dan nilai-nilai (etika) cerpen dalam bentuk ungkapan.
Alternatif Model 2
- Siswa diajak bertanya jawab tentang satu permasalahan yang ada kaitannya dengan cerpen yang akan didiskusikan.
- Guru membacakan cerpen
- Siswa menirukan pembacaan cerpen (bisa secara klasikal, bisa individual)
- Siswa berdiskusi untuk menentukan
- Siswa membuat cerpen
- Siswa dibimbing guru mencoba untuk merefleksikan kegiatan yang telah dilakukan
- isi dan nilai-nilai (etika) yang terdapat di dalam cerpen;
- menunjukkan relevansi isi dan nilai-nilai (etika) yang terdapat di dalam cerpen dengan situasi sekarang;
- menyimpulkan isi dan nilai-nilai (etika) cerpen dalam bentuk ungkapan.
Alternatif Model 3
- Siswa diajak bertanya jawab tentang satu permasalahan yang ada kaitannya dengan cerpen yang akan didiskusikan.
- Siswa berdiskusi untuk menentukan
- Siswa membuat cerpen
- Siswa membacakan cerpennya
- Siswa dibimbing guru mencoba untuk merefleksikan kegiatan yang telah dilakukan
- isi dan nilai-nilai (etika) yang terdapat di dalam cerpen;
- menunjukkan relevansi isi dan nilai-nilai (etika) yang terdapat di dalam cerpen dengan situasi sekarang;
- menyimpulkan isi dan nilai-nilai (etika) cerpen dalam bentuk ungkapan.
4. Hal yang Perlu Diperhatikan
(1) Cara membagi kelompok harus kreatif, misalnya dengan cara siswa diminta untuk memilih kertas yang bertuliskan “Siti Nurbaya”, “Belenggu”, “Layar Terkembang”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Siswa berkelompok sesuai dengan kertas yang dipilih.
(2) Masing-masing kelompok hendaknya ditunjuk ketua dan sekretaris
(3) Semua siswa dimotivasi untuk ikut aktif mengemukakan pendapatnya
5. Contoh Pembelajaran
a. Tanya Jawab Permasalahan
Pernahkah kalian menghadiri keluarga yang sedang berduka karena ada salah satu anggotanya meninggal dunia? Bagaimana suasana keluarga tersebut? Bagaimana suasana orang-orang yang melayat? Apa saja yang dibicarakan pelayat pada saat menunggu proses pemakaman?
b. Membaca Cerpen
(1) Bacalah cerpen di bawah ini dengan cermat, maksimal 10 menit!
KECAP NOMOR SATU DI SEKELILING BAYI
Mayat bayi‑satu‑tahun itu tergeletak di atas dipan besar. Penerangan kamar 60 watt. Dikeliling dipan orang-orang duduk bersila.
Udara panas, Setiap muka kelihatan sedih. Bintik-bintik keringat menyerang tubuh mereka
Orang-orang berdatangan. Mereka tambah memenuhi kamar itu. Udara makin terasa panas.
“Jam berapa tadi meninggal?”
“Jam tujuh.”
“Kenapa sampai meninggal?”
Dengan wajah kosong, seseorang menjawab.
“Itulah apa yang sudah diramalkan oleh anak saya. Anak saya tertua mahasiswa fakultas kedokteran. Sudah tingkat terakhir. Kalau tidak ada halangan tahun depan dia sudah jadi dokter penuh.
Kemudian wajah yang kosong ini sedikit demi sedikit berubah.
“Anak saya yang hampir lulus jadi dokter itu kemarin mengatakan,’Wah, anak bayi tetangga kita itu kok begitu pucat mukanya. Saya tahu, kalau tidak cepat-cepat diobati harapan hidupnya tinggal lima puluh persen. Kemungkinan besar sakitnya adalah pendarahan otak bayi. Sedangkan obat itu baru diketemukan tiga tahun yang lalu. Jadi harus cepat-cepat diobati.’ Begitulah ramalan anak saya yang sudah hampir jadi dokter itu.”
Banyak yang duduk di situ menganggukkan kepala. Seorang lain lekas menyahutnya.
“ Kalau anak saya yang sudah jadi dokter ada tiga jumlahnya. Satu, yang tertua, jadi kepala rumah sakit di Medan. Dia sangat disenangi oleh anak buahnya. Dua, jadi dokter militer di Semarang. Pangkatnya mayor. Padahal dia masih muda, tapi pangkatnya sudah mayor. Tiga, berdinas di Biak. Sebentar lagi dia mau pindah dinas ke sini, juga mau jadi kepala rumah sakit. Sayang, dia belum bertugas di sini. Seandainya sudah, pasti bayinya pak Su ini dapat ditolongnya. Anak saya itu terkenal sebagai dokter yang dermawan. Sayang.
Banyak orang di situ mengangguk-anggukkan kepala. Mereka datang ke situ untuk menjenguk mayat, tapi rupa-rupanya kedukaan itu sendiri sekarang jadi nomor dua. Seseorang berkumis yang duduk di pojok agaknya senang mendengar percakapan ini. Akan tetapi rasanya lebih senang kalau dia juga ikut turun bicara. Maka bicaralah dia.
“0, jadi puteranya pak Danu jadi dokter di Biak? Kalau begitu pasti kenal dengan anak saya. Anak saya jadi kepala jawatan imigrasi di sana. Dia terkenal. Setiap penduduk pasti kenal dengan dia. Dia sarjana tamatan Yale University Amerika. Ketika sekolah dulu dia pandai sekali. Makanya dia dapat scholarship ke Amerika. Tidak sembarangan orang biasa mendapat kesempatan seperti itu kalau tidak betul-betul pandai.”
Lagi, banyak orang-orang yang duduk di situ menganggukkan kepala. Seorang berambut putih di kepalanya tampak senang juga akan percakapan itu. Tapi tidak lebih puas agaknya kalau dia pun urun bicara maka urun bicaralah dia.
“O, kalau begitu sama dengan anak saya. Anak saya juga pandai sekali. Ketika lulus SMA dulu matematikanya sepuluh. Analitnya sembilan. Kimia sepuluh. Bahasa Inggeris delapan. Dia mendapat hadiah kejuaraan nomor satu. Maka dia juga mendapat tugas belajar ke luar negeri.”
“Di luar negeri pun dia lulus dengan hasil baik.”
Lagi, orang-orang di situ mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah mereka lupa kedatangan mereka ke situ untuk menyatakan duka. Agak lama percakapan terhenti. Mungkin mereka betul-betul sedang merenungkan kedukaan yang baru saja menimpa oleh keluarga ini, mungkin mereka sedang meramu cerita-cerita yang baik untuk disuguhkan lagi kepada mereka yang hadir. Atau mungkin kedua-duanya.
Seorang perempuan tua datang, berdiri dekat pintu. Kepalanya ditongolkan ke dalam kamar, bicara kepada orang-orang yang mengelilingi mayat di situ.
“Udara panas. Bayi ini juga kepanasan. Kasur dan guling-guling yang mengepit itu menambah panas. Bayi harus dipindah ke atas meja saja, biar agak dingin.”
Secara serentak, orang-orang yang duduk itu berdiri. Mereka akan menawarkan jasa memindah mayat itu. Kalau mereka tidak urun tenaga, nanti merasa malu.
Dari luar beberapa orang masuk mengangkat meja. Meja ini ukuran biasa. Satu kali satu tujuh lima. Diangkat oleh seorang saja sebetulnya sudah cukup. Tapi yang menggotong ada lima orang. Dan orang-orang yang berdiri di dalam kamar itu segera mengangkat meja itu. Lebih dari lema belas orang berusaha untuk mengangkat meja. Mereka betul-betul sadar, satu orang saja atau paling banyak dua cukup untuk mengangkat meja. Tapi kalau tidak ikut-ikut mencoba mengangkat, mereka takut disangka kurang sopan. Mereka malu.
Meja itu pun sekarang berdiri di sebelah dipan. Mayat segera dipindahkan. Tidak banyak yang berusaha untuk ikut mengangkat mayat itu. Mungkin ngeri. Mayat itu segera ditutup dengan selembar kain indah.
Tiba sekarang gifiran dipan akan dipindahkan. Kasur harus diangkat keluar. Guling-guling idem. Baru dipannya. Untuk mengangkat kasur ini sebetulnya cukup dibutuhkan tenaga satu orang. Tapi semua orang serempak mencoba-coba ikut-ikut mengangkat kasur. Sekarang giliran dua batang guling dikeluarkan. Satu orang saja sudah cukup mengerjakan ini. Atau paling banyak dua. Tapi mereka berrebut-rebutan kembali untuk membawa dua bantal ini keluar. Kalau tidak begitu, mereka malu disangka kurang sopan. Takut kalau tidak ikut merasakan duka di situ.
Kembali mereka mengelilingi mayat itu lagi. Sekarang mereka telah duduk lagi. Seseorang dengan mengipas-ngipas mukanya berkata,
“Wah, panas sekali.” Kemudian dengan nada menyalahkan disambungnya, ”Sebetulnya di bawah bayi itu harus ditaruhkan sedikitnya satu blok es. Apalagi panas begini.”
Tapi dia tidak berusaha untuk mencari es. Padahal tadi dia ikut-ikut mengangkat meja, kasur, guling dan dipan yang sama sekali tidak membutuhkan tenaganya. Tapi untuk mencari es yang perlu dikerjakan, dia hanya berkata dengan nada mencela belaka.
Seseorang di sampingnya agaknya tidak puas dengan celaan temannya itu. Maka dia pun berkata,
“Bukan hanya es saja, tapi sebetulnya pada setiap kaki meja itu juga harus dikasih kobokan isi air. Kalau tidak begitu nanti semut bisa merayap ke atas.”
Dia berkata begitu. Tapi dia tidak berusaha mendapatkan kobokan dan air. Tadi dia juga ikut-ikutan mengangkat meja, guling, kasur dan dipan. Seseorang lain segera menyambungnya,
“Memang begitu. Anak saya yang menjadi biolog ahli semut pernah mengatakan begitu. Dia sekarang jadi dosen biologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Dia masih muda, tapi sebentar lagi akan diangkat jadi profesor. Teman-temannya ngiri. Tapi saya bilang kepadanya, jangan kecil hati kalau teman-temannya ngiri. Dia pandai dan satu-satunya ahli semut di Asia Tenggara ini, sudah sepantasnya jadi profesor, meskipun umurnya masih muda sekali.”
Dua orang anak kecil masuk kamar itu. Yang seorang membawa ember kecil berisi air. Satunya membawa empat kobokan. Orang-orang di situ sekali lagi berebutan untuk menawarkan jasanya. Kerja itu ditanggulangi oleh lebih kurang lima belas orang.
Setelah selesai, mereka duduk kembali. Wajah-wajah mereka memancarkan kepuasan karena merasa berjasa. Tiap kaki meja sudah terlandas pada kobokan berisi air, sehingga semut tidak mungkin merambat ke atas. Orang yang tadi menyalahkan tidak ada kobokan dan air merasa bangga, meskipun kobokan dan air itu ada di situ bukan karena jasanya. Setidaknya dia merasa itu idenya.
Udara makin panas. Bintik-bintik keringat makin banyak pada tubuh mereka. Seorang yang berbadan kekar mengusap-usa[ peluhnya. Kemudian berkata,
“Panas benar. Tapi tidak sepanas dulu pada jaman gerilya ketika saya memimpin penyerbuan Belanda di Mojokerto. Waku itu saya pegang pimpinan pasukan. Saya tahu bahwa musuh kita, Belanda, tidak tahan udara panas. Waktu itu belum ada air-conditioning. Saya serbu mereka. Mereka kocar-kacir. Mental mereka turun. Karena itu saya mendapat bintang jasa.”
Orang-orang di situ sekali lagi mengangguk-anggukkan kepala. Seolah mereka lupa dating ke situ untuk apa. Seseorang kelihatan merenung. Rupanya dia merenungkan duka yang ada di situ. Tahunya dia sedang meramu pertanyaan dalam otaknya supaya juga dapat bercerita yang lebih hebat.
“Maaf, sekarang apa sampeyan masih aktif di Angkatan Darat?”
“Oh, masih.”
“Kalau boleh tabu, apakah pangkat sampeyan sekarang?”
“Mayor.”
“O, begitu. Adik saya pangkatnya kolonel. Sekarang dia jadi atase militer di Koln. Sudah tiga tahun dia di sana. Sebetulnya dia ingin pulang ke tanah air. Tapi karena dia cakap, tenaganya tetap dibutuhkan di sana. Suratnya yang terakhir mengatakan, dia sekarang sudah diusulkan naik pangkat jadi brigjen.
Seorang laki-laki masuk kamar. Dia duduk menemani mereka. Orang ini ayah si bayi yang mayatnya terlentang di atas meja. Mereka semua menunjukkan muka serius.
“Jam berapa tadi?” Tanya seseorang.
“Jam tujuh” jawab tuan rumah dengan sayu.
“Sudah dibawa ke dokter sebelumnya?”
“Sudah. Sudah saya periksakan pada beberapa dokter. Tapi rupanya memang Tuhan tidak mengijinkan saya untuk momong bayi ini.
Mereka bercakap-cakap sampai fajar merekah. Tuan rumah kadang-kadang menemui mereka, kadang-kadang meninggalkan mereka karena banyak urusan yang harug diselesaikannya. Setiap tuan rumah meninggalkan mereka, mereka bercerita lagi, seolah lupa uutuk apa mereka datang ke sana. Dan setiap tuan rumah menunggu mereka, mereka berwajah serius, menandakan mereka pun ikut merasakan kedukaan itu.
c. Mendiskusikan Cerpen
(1) Diskusikanlah masalah-masalah di bawah ini!
(a) Bagaimanakah sikap tamu di cerpen “Kecap Nomor Satu di Sekeliling Bayi”?
(b) Bagaimanakah tanggapan Anda terhadap sikap tamu tersebut?
(c) Bagaimanakah seharusnya sikap tamu pada saat melayat?
(2) Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan memilih 3 (selalu), 2 (sering), 1 (kadang-kadang), atau 0 (tidak pernah). Isilah dengan menuliskan angka!
No
Daftar Pertanyaan
Jawaban
1.
Apakah Anda hadir untuk mengantar pemakaman pada saat ada tetangga yang meninggal?
2.
Apakah anda menghibur hati orang yang sedang berduka atau mengalami musibah
3.
Apakah Anda mengindarkan diri dari bergurau pada saat menghadiri pemakaman seseorang
4.
Apakah Anda menghindarkan diri menceritakan kehebatan Anda atau keluarga Anda?
5.
Apakah Anda membantu meringankan orang yang mendapatkan musibah
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan memberi tanda centang (V) pada kolom setuju atau tidak setuju!
No
Daftar Pertanyaan
Setuju
Tidak Setuju
e. Variasi
Model diskusi ini bisa dibuat dengan beberapa variasi. Variasi itu antara lain dalam bentuk sebagai berikut.
(1) Dibuat dua kelompok yang berbeda pendapat.
(2) Masing-masing kelompok diminta untuk menyampaikan pendapat dengan alasan-alasannya.
Strategi
-
- drama (tonton dan diskusi) (dramatisasi) (identifikasi, antipati, empati, simpati)
- debat
- diskusi (FGD)
- bercerita
- berpidato
- menulis cerita
- melengkapi cerita
- menulis puisi
- melengkapi puisi
- menulis drama
- melengkapi drama
- menulis buku harian
- merenung
- menulis kepribadian diri sendiri
- menulis kepribadian orang lain
- berkelompok sesuai dengan pendapatnya tentang etika
- model bermain
- model dialog
- model bernyanyi
(1) model bercerita, (2) model bermain, (3) model dialog, (4) model bernyanyi, dan (5) model sosio drama
Mmmmmmmmmmmmmm
MANGGUT-MANGGUT SEMACAM
INI BIASAKAH?
Air conditioning dipasang. Udara sejuk menyerang ruangan indah itu. Lampu terang. Dekorasi menyedapkan mata. Meja-meja mengkilat. Semua sudah diatur oleh pelayan. Tamu-tamu penting akan segera datang. Rapat penting akan segera diselenggarakan. Istilah populernya, briefing.
Tamu berdatangan satu-satu. Dipersilakan duduk pada kursi masing-masing. Semua mengagumi suasana yang indah dalam ruangan megah itu. Hanya kursi-kursi Bapak-Bapak yang terletak di deretan depan belum terisi. Biasa. Bapak-Bapak biasa kerja banyak. Kerja keras. Maklum kalau datang terlambat.
Biasa. Biasa. Biasa.
Setelah jam karet molor-molor, satu persatu Bapak-Bapak itu datang. Seolah mereka telah terbiasa oleh klise yang biasa diucapkan: maaf terlambat. Repot. Banyak kerja. Ngurus ini. Ngurus itu. Ada tamu penting.
Dan sebagian besar yang hadir, itu orang-orang yang tidak termasuk Bapak-Bapak, juga rupanya telah terbiasa mendengar klise semacam itu. Mereka manggut-manggut. Mereka maklum memang Bapak-Bapak selalu sibuk. Selalu banyak kerja. Selalu banyak urusan. Selalu ada tamu-tamu penting. Mereka manggut-manggut. Biasa. Biasa. Biasa.
Setelah lengkap semua, protokol membuka suara.
“Yang terhormat Bapak Kepala Perhubungan, Yang terhormat Bapak Kepala Pariwisata. Yang terhormat Bapak Kepala Radio. Yang terhormat Bapak Kepala Turis Kompor Company, dan saudara-saudara calon guides.”
“Saya ucapkan terima kasih banyak atas kehadiran Bapak-Bapak dan saudara-saudara. Pertemuan briefing ini segera kita mulai. Tapi kalau ada hal-hal yang kurang menyenangkan dalam penyelenggaraan kami, kami mohon maaf sebesar-besarnya. Pemberitahuan kepada kami bahwa malam ini akan diadakan briefing datangnya terlalu mendadak. Amat sempit waktunya untuk mengadakan persiapan yang sebaik-baiknya. Akan tetapi karena kami sudah terbiasa dengan pekerjaan begini, maka kami pun sekarang agaknya dapat mengadakan pertemuan yang, yah, katakanlah, sempurna. Seandainya protokol briefing ini tidak diserahkan kepada kami, mungkin briefing ini akan macet.”
“Pertama-tama kami mohon Bapak Trunodjojo, B.A. Kepala Turis Kompor Company untuk memberikan sambutan yang pertama. Kami mohon yang singkat saja. Sebab penjelasan lebih lanjut dapat disambung nanti.”
Trunodjojo, B.A. mendehem beberapa kali. Dasi dipegang-pegangnya. Keringat di dahi diusap-usapnya.
“Yang terhormat Bapak Kepala Perhubungan, Yang terhormat Bapak Kepala Pariwisata, Yang terhormat Bapak Kepala Radio, dan saudara-saudara calon guides.”
“Saya ucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak-Bapak dan saudara-saudara. Kepada Bapak Residen yang telah meminjamkan ruangan ini juga saya ucapkan terima kasih.”
“Begini, saudara-saudara. Seperti yang saudara-saudara ketahui kami telah memilih saudara-saudara untuk menjadi calon guides. Untuk pertama kali ini, daerah kita mendapat kehormatan untuk dikunjungi turis. Ya, baru pertama kali inilah. Kedatangan turis ini adalah berkat restu Bapak-Bapak yang semuanya hadir di sini sekarang. Tapi juga berkat keuletan saya untuk membuat propaganda-propaganda mengenai daerah kita ini yang saya lakukan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Khusus untuk membuat propaganda mengenai daerah ini saya sudah menghubungi Yang Mulia Bapak Menteri Pariwisata di Ibu Kota. Beliau memuji-muji saya, karena menurut Beliau, usaha saya amat baik. Saya sudah direstui oleh Beliau. Kemudian perjalanan-perjalanan ke luar negeri pun telah saya adakan. Semua orang menyambut propaganda saya ini dengan penuh antusiasme. Tapi mengenai perjalanan-perjalanan saya di luar negeri akan saya ceritakan nanti saja. Pengalaman-pengalaman ini sangat penting untuk pegangan para guides.”
“Kedatangan turis ini berarti penanaman devisa bagi negeri kita. Maka dengarlah baik-baik wejangan Bapak-Bapak ini nanti. Catatlah baik-baik. Camkanlah baik-baik. Ingatlah baik-baik. Kalau kita menerima turis dengan baik, negara kita pun akan punya nama baik. Maka, perhatikanlah wejangan Bapak-Bapak ini.”
Bapak-Bapak manggut-manggut. Sebagian besar calon guides manggut-manggut. Protokol mempersilakan Bapak Kepala Pariwisata untuk menyambut. Beliau berdiri. Dipandangilah hadirin dengan muka yang gagah. Angkat bicara.
“Saudara-saudara calon guides. Sayang waktu yang tersedia bagi saya untuk memberikan briefing ini pendek sekali. Seandainya ada waktu cukup, saudara-saudara pasti saya ceramahi. Tapi berhubung waktunya singkat saya akan uraikan garis-garis besarnya saja.”
“Menjadi guides berarti menjadi wakil negara. Saudara-saudara nanti akan mengikuti terus para turis ini. Dari saudara-saudaralah mereka melihat kepribadian bangsa kita. Makanya saudara harus hati-hati. Harus selalu mencerminkan kepribadian bangsa. Harus jujur.”
“Mungkin ucapan-ucapan ini tidak jelas kalau tidak saya tambah dengan pengalaman-pengalaman saya. Saya sudah menjelajah sembilan negara.”
Sebagian hadirin manggut-manggut. Bangga karena yang memidatoi sudah pernah keliling sembilan negara. Agaknya Bapak Trunodjojo, B. A. kalah pengalaman.
“Saya pergi atas tanggungan negara. Ini berarti saya orang penting. Memang sekarang banyak orang pergi ke luar negeri atas biaya sendiri. Tapi saya lain. Saya pergi dibiayai negara. Berarti saya orang pilihan.”
“Dengarlah baik-baik. Ini pengalaman saya di negeri Celana Kolor. Saya datang ke sana mengepalai misi negara kita untuk mengadakan observasi pada pabrik kelereng. Saya disambut dengan baik. Seorang guide cantik jelita disediakan khusus untuk saya. Saya diantar ke mana-mana. Dia tahu siapa saya. Waktu itu saya menjadi Kepala Proyek Penelitian Kemungkinan Pendirian Pabrik Kelereng. Maka saya dihormati, karena dia tahu saya orang penting di negara kita ini. Ke mana-mana diantarkannya saya. Segala permintaan saya yang berada di dalam garis-garis kesopanan, dia layani dengan ramah-tamah. Karena itu saudara-saudara saya minta untuk berbuat persis seperti itu. Meskipun para turis yang akan saudara-saudara hadapi nanti tidak sepenting kedudukan saya ketika ke luar negeri dulu, saudara-saudara harus memperlakukan mereka seperti orang-orang penting. Buatlah hati mereka senang. Segala permintaan yang berada di garis-garis kesopanan sedapat mungkin harus dijalani.”
Sebagian besar hadirin manggut-manggut. Kepala Pariwisata kelihatan senang sambutannya dianggut-angguti hadirin. Disambungnya.
“Ini pengalaman lainnya. Waktu itu saya memimpin Misi Panitia Perencana Kemungkinan Pendirian Pabrik Batu Bata. Proyek yang saya pimpin dulu bangkrut, berkat rongrongan kaum kotrarevolusioner. Maka oleh pemerintah yang telah mengetahui prestasi kerja saya, saya dipindah pada proyek baru itu.”
“Maka berangkatlah saya ke negeri lain. Seperti saudara-saudara ketahui, negara Kancut Kolor adalah negara produksi batu bata terbesar di bilangan tujuh planet.”
“Saya juga mendapat guide yang baik. Orangnya manis. Montok. Untuk menyingkat waktu, baiklah saya ceritakan garis besarnya saja. Seandainya waktu tidak terbatas, saya sanggup menceramahi saudara-saudara paling sedikit tiga jam lamanya. Mungkin dalam kesempatan lain waktu para guides akan saya upgrade, karena saya sekarang telah dipandang mampu oleh Pemerintah mengenai soal perguidesan. Bukankah saya Kepala Pariwisata?”
“Begini. Saya pecandu kopi. Tanpa kopi badan lemes. Tanpa kopi tidak bisa kerja. Tanpa kopi tidak bisa ke belakang. Pagi itu saya minta pada guide saya untuk disediai kopi. Dia tidak mau memberi. Saya minta lagi. Dia tidak mau memberi lagi. Lantas guide itu menerangkan, “Pak, kopi bukan produksi negeri kami. Karena itu kami tidak akan memberi kopi sama Bapak. Kami akan memberi produksi kami sendiri. Kami akan beri air saja. Air adalah produksi kami terbesar setelah batu bata. Mintalah air untuk apa saja, pasti Bapak kami kasih. Kalau Bapak mau merendam diri dalam air pun, air itu kami sediakan.”
“Inilah kata-kata mutiara yang saya dapatkan dari guide saya. Dia membanggakan kepribadian negaranya. Begitu juga nanti saudara-saudara harus membanggakan kepribadian negara kita.”
Pengalaman-pengalaman penting lainnya diceritakan. Dan sebagian besar hadirin manggut-manggut. Dan beliau senang.
Sekarang, waktunya Bapak-Bapak lain memberikan sambutan. Bapak-Bapak pun memberi sambutan. Semua berkisar pada tema, bahwa kita harus menunjukkan kepribadian kita. Dan semua diberi ilustrasi berdasarkan pengalaman-pengalaman beliau-beliau di luar negeri, dengan “saya” sebagai pelaku utamanya.
Sesudah semua Bapak-Bapak menyambut, Kepala turis Kompor Company angkat bicara.
“Demikianlah tadi wejangan Bapak-Bapak. Hendaknya saudara-saudara camkan betul-betul. Nanti akan saya beri penjelasan lengkap mengenai teknis penerimaan para turis ini. Semua akan saya jelaskan sampai mendekati. Misalnya mengenai acara kuda lumping untuk menarik para turis. Dan acara balap kucing. Acara balap anjing. Acara balap kambing. Ya, acara balap kambing nanti akan menjadi salah satu acara yang paling menarik. Untuk ini saja telah khusus mendatangkan saudara Gondodiwirjo, B. A., expert balap kambing.”
“Tapi penjelasan-penjelasan saya nanti akan makan waktu banyak. Karena Bapak-Bapak di sini ada acara lain, maka penjelasan-penjelasan itu akan saya berikan setelah Bapak-Bapak ini meninggalkan ruangan.”
Seorang Bapak berdiri, “Ya, sebetulnya kami ingin mengikuti acara briefing ini sampai selesai. Tapi karena kami ada tugas-tugas penting lainnya, kami terpaksa meninggalkan briefing ini.
Hadirin manggut-manggut. Baru saja Bapak-Bapak akan berdiri meninggalkan kursi masing-masing untuk menghadiri acara penting lainnya, sorang calon guide mengangkat tangannya.
“Apakah kami bisa bertanya?”
Bapak-Bapak duduk lagi. Penanya itu melanjutkan pembicaraannya.
“Kalu saya tidak salah tangkap, Bapak Trunodjojo (yang bersangkutan menjadi merah mukanya, karena penanya lupa menyebutkan B.A.-nya) tadi mengemukakan bahwa beliau sudah bertemu dengan Yang Mulia Bapak Menteri Pariwisata di Ibu Kota. Malahan dipuji-puji segala. Malahan dikasih restu segala.
Penanya berdehem-dehem, kemudian dilanjutkannya pembicaraannya.
“Begini, Bapak. Meskipun saya ini jelek, tapi sopir Yang Mulia Menteri Pariwisata di Ibu Kota itu adalah kakak ipar saya, namanya Min Kebo. Ketika saya datang ke Ibu Kota beberapa waktu yang lalu, Min Kebo bercerita bahwa Bapak Trunodjojo (sekali lagi yang bersangkutan wajahnya jadi merah padam) berusaha hendak menemui Yang Mulia Menteri. Tapi kebetulan Yang Mulia sibuk. Maka bundel-bundel itu Bapak sampaikan kepada Min Kebo.
“Nanti saya jelaskan” potong Bapak Trunodjojo dengan cekatan. “Sekarang Bapak-Bapak ini akan meninggalkan ruangan.”
“Baiklah kalau akan dijawab nanti. Tapi sekarang ada penanya lainnya yang mungkin ada baiknya kalau didengarkan oleh Bapak-Bapak ini.” Dia berdehem-dehem. Dilanjutkannya.
“Kalau tidak salah tangkap, salah seorang Bapak tadi mengemukakan bahwa kalau ada permintaan-permintaan di dalam garis kesopanan harus dijalani dengan baik. Apakah hal ini berarti ada perbuatan wakil-wakil kita di luar negeri—tapi bukan Bapak-Bapak, lho—yang minta berbuat di luar garis kesopanan? Sekali lagi maksud saya bukan Bapak-Bapak. Sebab Bapak-Bapak mungkin orang yang sopan-sopan. Tapi mungkin itu orang-orang yang kontrarevolusioner.”
Bapak-Bapak manggut-manggut.
“Ya, ya, yaaahhh….
Si penanya terus mengoceh.
“Begini, Bapak-Bapak. Kalau begitu saya punya usul. Seperti tadi dikemukakan, balap kambing adalah kepribadian kita. Ini kepribadian yang tradisionil. Maksud saya yang turun-temurun. Bagaimana kalau saya usulkan menyuguhkan semua yang baru? Sesuatu yang pada masa mutakhir ini menjadi kepribadian modern kita?
Hadirin berdesis-desis, bertanya-tanya, apakah gerangan kepribadian itu. Dengan tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya lagi, si penanya melanjutkan pembicaraannya.
“Begini. Tadi ada balap macam-macam. Tapi belum ada satu tontonan baru buat tamu-tamu asing nanti. Yaitu tontonan balap mencari kambing hitam. Bukankah ini kepribadian baru kita?”
Tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya pula, penanya terus bicara.
“Di samping itu begini. Kalau tidak salah tangkap salah seorang Bapak tadi bangga karena disuruh merendam diri dalam air. Kata-kata guidenya dianggap kata-kata mutiara, karena itu mencerminkan kepribadian bangsanya. Bukankah kita punya kepribadian baru lagi, yang bisa dianjurkan pada tamu asing? Bapak ini tadi disuruh merendam dirinya dalam air, karena air produksi yang besar dalam negara itu. Kita juga punya produksi besar, yakni kecap. Bukankah semua manusia-manusia kita ini pandai ngecap? Suruhlah mereka nanti merendam dirinya dalam kecap…”
Penanya itu dicoret namanya sebagai calon guide. *** AGUSTUS 1970
PERGANTIAN TAHUN 2004
rabu, 31 desember malam
anak-anak dan istriku mengajak keluar
merayakan awal tahun dua ribu empat
anak lelakiku ingin menyaksikan kembang api
rencananya akan dinyalakan tepat pukul dua puluh empat
anak perempuan dan istriku minta diantar ke pasar raya
kubujuk agar mereka tidur sore untuk kemudian bangun malam harinya
aku berharap mereka lelap hingga pagi
biarlah kehilangan waktu ini
mereka lalui di dunia mimpi
asal ini tidak mereka rayakan di pasar raya dengan menyulut kembang api
(Malang, 1 Januari 2004)
MALAM HAJATAN
malam ini memang bukan malam sepi mencekam
juga bukan gegap gempita musik yang berdentam
dari vcd player yang kadang sering diulang-ulang
malam ini ramai suara para undangan
bingung mencari uang sumbangan
sekian banyak hajatan
kadang terasa berlebihan
(Malang, Februari 2004)
MERENUNG
(1) Pengertian
Merenung adalah model pembelajaran etika melalui pembelajaran sastra dengan cara membelajarkan murid untuk merenungkan hal-hal yang berkaitan dengan kebaikan dan keburukan dengan stimulus karya sastra
(2) Langkah
- Murid diminta untuk membaca (mendengar) sebuah karya sastra (cerpen, novel, puisi, atau drama)
- Murid diminta untuk mengerjakan tugas yang isinya untuk merenungkan kebaikan dan keburukan
(3) Hal yang Perlu Diperhatikan
- waktu yang diberikan kepada murid untuk membaca karya sastra hendaknya sesuai dengan kecepatan membaca murid.
- Tugas yang diberikan kepada murid, bisa dijawab murid dari karya sastra yang telah dibaca murid.
- Tugas yang diberikan kepada siswa hendaknya menyenangkan, menantang, kalau perlu diselingi atau dalam bentuk permainan.
Mau Tau Rahasianya bisa menang sobobet ?
BalasHapusdi sini cara nya menang Klik ~> sbobets
Inget biar aman dan pasti di bayar mainnya di ESBOBET