Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

Ditulis oleh Wahyudi Siswanto

Mendiskusikan Cerpen

1. Pengertian
Model Mendiskusikan cerpen adalah model pembelajaran etika melalui pembelajaran sastra dengan kegiatan utama mendiskusikan cerpen Dalam Kurikulum KTSP, kegiatan ini sesuai dengan kompetensi dasar: (1) Mengemukakan hal-hal yang menarik atau mengesankan dari cerita pendek  melalui kegiatan  diskusi  dan (2) Menemukan  nilai-nilai  cerita pendek melalui kegiatan  diskusi

2. Manfaat
Pertama, siswa bisa mempertajam dan mengembangkan rasa keindahan dalam dirinya. Rasa keindahan itu bisa dihadirkan oleh isi dan bentuk cerpen yang didiskusikannya. Kedua, siswa bisa mengembangkan sikap berempati dan bersimpati terhadap tokoh-tokoh yang diceritakan pengarang dalam cerpennya Ketiga, siswa bisa merefleksikan hasil diskusinya itu dalam berbagai bentuk, seperti tanggapan, tulisan, diskusi. Refleksi itu juga bisa berbentuk penghayatan dan pengamalan nilai-nilai etika yang ada di dalam cerpen. Keempat, membelajarkan siswa tentang apa yang dialami dan dirasakan ketika mendiskusikan cerpen.

3. Langkah
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam pembelajaran etika melalui mendiskusikan cerpen  ini. Kali ini akan diberikan tiga alternatif model beserta langkah-langkahnya.

Alternatif Model 1
(Pembukaan)
  1. Siswa diajak bertanya jawab tentang satu permasalahan yang ada kaitannya dengan cerpen yang akan didiskusikan
(Kegiatan Inti)
  1. Siswa membaca cerpen
  2. Siswa dengan cara tertentu membentuk kelompok
  3. Siswa berdiskusi untuk menentukan:
  • isi dan nilai-nilai (etika) yang terdapat di dalam cerpen,
  • menunjukkan relevansi isi dan nilai-nilai (etika) yang terdapat di dalam cerpen dengan situasi sekarang;
  • menyimpulkan isi dan nilai-nilai (etika) cerpen dalam bentuk ungkapan.
(Penutup)
5.   Siswa dibimbing guru mencoba untuk merefleksikan kegiatan yang telah dilakukan


Alternatif Model  2
(Pembukaan)
  1. Siswa diajak bertanya jawab tentang satu permasalahan yang ada kaitannya dengan cerpen yang akan didiskusikan.
(Kegiatan Inti)
  1. Guru membacakan cerpen
  2. Siswa menirukan pembacaan cerpen (bisa secara klasikal, bisa individual)
  3. Siswa berdiskusi untuk menentukan
  4. Siswa membuat cerpen
  • isi dan nilai-nilai (etika) yang terdapat di dalam cerpen;
  • menunjukkan relevansi isi dan nilai-nilai (etika) yang terdapat di dalam cerpen dengan situasi sekarang;
  • menyimpulkan isi dan nilai-nilai (etika) cerpen dalam bentuk ungkapan.
(Penutup)
  1. Siswa dibimbing guru mencoba untuk merefleksikan kegiatan yang telah dilakukan


Alternatif Model  3
(Pembukaan)
  1. Siswa diajak bertanya jawab tentang satu permasalahan yang ada kaitannya dengan cerpen yang akan didiskusikan.
(Kegiatan Inti)
  1. Siswa berdiskusi untuk menentukan
  2. Siswa membuat cerpen
  3. Siswa membacakan cerpennya
  • isi dan nilai-nilai (etika) yang terdapat di dalam cerpen;
  • menunjukkan relevansi isi dan nilai-nilai (etika) yang terdapat di dalam cerpen dengan situasi sekarang;
  • menyimpulkan isi dan nilai-nilai (etika) cerpen dalam bentuk ungkapan.
(Penutup)
  1. Siswa dibimbing guru mencoba untuk merefleksikan kegiatan yang telah dilakukan


4. Hal yang Perlu Diperhatikan
(1)   Cara membagi kelompok harus kreatif, misalnya dengan cara siswa diminta untuk memilih kertas yang bertuliskan “Siti Nurbaya”, “Belenggu”, “Layar Terkembang”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Siswa berkelompok sesuai dengan kertas yang dipilih.
(2)   Masing-masing kelompok hendaknya ditunjuk ketua dan sekretaris
(3)   Semua siswa dimotivasi untuk ikut aktif mengemukakan pendapatnya


5. Contoh Pembelajaran
a. Tanya Jawab Permasalahan
Pernahkah kalian menghadiri keluarga yang sedang berduka karena ada salah satu anggotanya meninggal dunia? Bagaimana suasana keluarga tersebut? Bagaimana suasana orang-orang yang melayat? Apa saja yang dibicarakan pelayat pada saat menunggu proses pemakaman?

b. Membaca Cerpen

(1) Bacalah cerpen di bawah ini dengan cermat, maksimal 10 menit!

Kecap Nomor Satu di Sekeliling Bayi

Mayat bayi‑satu‑tahun itu tergeletak di atas dipan besar. Penerangan kamar 60 watt. Dikeliling dipan orang-orang duduk bersila.
Udara panas, Setiap muka kelihatan sedih. Bintik-bintik keringat menyerang tubuh mereka
Orang-orang berdatangan. Mereka tambah memenuhi kamar itu. Udara makin terasa panas.
“Jam berapa tadi meninggal?”
“Jam tujuh.”
“Kenapa sampai meninggal?”
Dengan wajah kosong, seseorang men­jawab.
“Itulah apa yang sudah diramalkan oleh anak saya. Anak saya tertua mahasis­wa fakultas kedokteran. Sudah tingkat terakhir. Kalau tidak ada halangan tahun depan dia sudah jadi dokter penuh.
Kemudian wajah yang kosong ini sedi­kit demi sedikit berubah.
“Anak saya yang hampir lulus jadi dokter itu kemarin mengatakan,’Wah, anak bayi tetangga kita itu kok begitu pucat mukanya.  Saya tahu, kalau tidak cepat-cepat diobati harapan hidupnya tinggal lima puluh persen. Kemungkinan besar sakitnya adalah pendarahan otak bayi. Sedangkan obat itu baru diketemukan tiga tahun yang lalu. Jadi harus cepat-cepat diobati.’ Begitulah ramalan anak saya yang sudah hampir jadi dokter itu.”
Banyak yang duduk di situ menganggukkan kepala. Seorang lain lekas menyahutnya.
“ Kalau anak saya yang sudah jadi dokter ada tiga jumlahnya. Satu, yang tertua, jadi kepala rumah sakit di Medan. Dia sangat disenangi oleh anak buahnya. Dua, jadi dokter militer di Semarang. Pangkatnya mayor. Padahal dia masih muda, tapi pangkatnya sudah mayor. Tiga, berdinas di Biak. Sebentar lagi dia mau pindah dinas ke sini, juga mau jadi kepala rumah sakit. Sayang, dia belum ber­tugas di sini. Seandainya sudah, pasti bayi­nya pak Su ini dapat ditolongnya. Anak saya itu terkenal sebagai dokter yang der­mawan. Sayang.
Banyak orang di situ mengangguk-anggukkan kepala. Mereka datang ke situ untuk men­jenguk mayat, tapi rupa-rupanya kedukaan itu sendiri sekarang jadi nomor dua. Sese­orang berkumis yang duduk di pojok agaknya senang mendengar percakapan ini. Akan tetapi rasanya lebih senang kalau dia juga ikut turun bicara. Maka bicaralah dia.
“0, jadi puteranya pak Danu jadi dokter di Biak? Kalau begitu pasti kenal dengan anak saya. Anak saya jadi kepala jawatan imigrasi di sana. Dia terkenal. Setiap penduduk pasti kenal dengan dia. Dia sarjana tamatan Yale University Amerika. Ketika sekolah dulu dia pandai sekali. Makanya dia dapat scholarship ke Amerika. Tidak sembarangan orang biasa mendapat kesempatan seperti itu kalau tidak betul-betul pandai.”
Lagi,  banyak orang-orang yang duduk di situ menganggukkan kepala. Seorang berambut putih di kepalanya tampak senang juga akan percakapan itu. Tapi tidak lebih puas agaknya kalau dia pun urun bicara maka urun bicaralah dia.
“O, kalau begitu sama dengan anak saya. Anak saya juga pandai sekali. Ketika lu­lus SMA dulu matematikanya sepuluh. Analitnya sembilan. Kimia sepuluh. Bahasa Inggeris delapan. Dia mendapat hadiah kejuaraan nomor satu. Maka dia juga mendapat tugas belajar ke luar negeri.”
“Di luar negeri pun dia lulus dengan hasil baik.”
Lagi, orang-orang di situ mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah mereka lupa kedatangan mereka ke situ untuk menyatakan duka. Agak lama percakapan terhenti. Mungkin mereka betul-betul sedang merenungkan kedukaan yang baru saja menimpa oleh keluarga ini, mungkin mereka sedang meramu cerita-cerita yang baik untuk disuguhkan lagi kepada mereka yang hadir. Atau mungkin kedua-duanya.
Seorang perempuan tua datang, berdiri dekat pintu. Kepalanya ditongolkan ke dalam kamar, bicara kepada orang-orang yang mengelilingi mayat di situ.
“Udara panas. Bayi ini juga kepana­san. Kasur dan guling-guling yang mengepit itu menambah panas. Bayi harus dipindah ke atas meja saja, biar agak dingin.”
Secara serentak, orang-orang yang duduk itu berdiri. Mereka akan menawarkan jasa memindah mayat itu. Kalau mereka tidak urun tenaga,  nanti merasa malu.
Dari luar beberapa orang masuk mengangkat meja. Meja ini ukuran biasa. Satu kali satu tujuh lima. Diangkat oleh seorang saja sebetulnya sudah cukup. Tapi yang menggotong ada lima orang. Dan orang-orang yang berdiri di dalam kamar itu segera mengangkat meja itu. Lebih dari lema belas orang berusaha untuk mengangkat meja. Mereka betul-betul sadar, satu orang saja atau paling banyak dua cukup untuk mengangkat meja. Tapi  kalau tidak ikut-ikut mencoba mengangkat, mereka takut disangka kurang sopan. Mereka malu.
Meja itu pun sekarang berdiri di sebelah dipan. Mayat segera dipindahkan. Tidak banyak yang berusaha untuk ikut mengangkat mayat itu. Mungkin ngeri. Mayat itu segera ditutup dengan selembar kain indah.
Tiba sekarang gifiran dipan akan dipin­dahkan. Kasur harus diangkat keluar. Guling-guling idem. Baru dipannya. Untuk mengangkat kasur ini sebetulnya cukup dibu­tuhkan tenaga satu orang. Tapi semua orang serempak mencoba-coba ikut-ikut meng­angkat kasur. Sekarang giliran dua batang guling dikeluarkan. Satu orang saja su­dah cukup mengerjakan ini. Atau paling banyak dua. Tapi mereka berrebut-rebutan kembali untuk membawa dua bantal ini keluar. Kalau tidak begitu, mereka malu disangka kurang sopan. Takut kalau tidak ikut merasakan duka di situ.
Kembali mereka mengelilingi mayat itu lagi. Sekarang mereka telah duduk lagi. Seseorang dengan mengipas-ngipas mukanya berkata,
“Wah, panas sekali.” Kemudian de­ngan nada menyalahkan disambungnya, ”Sebetulnya di bawah bayi itu harus ditaruhkan sedikitnya satu blok es. Apalagi panas begini.”
Tapi dia tidak berusaha untuk mencari es. Padahal tadi dia ikut-ikut mengangkat meja, kasur, guling dan dipan yang sama­ sekali tidak membutuhkan tenaganya. Tapi untuk mencari es yang perlu dikerjakan, dia hanya berkata dengan nada mencela belaka.
Seseorang di sampingnya agaknya tidak puas dengan celaan temannya itu. Maka dia pun berkata,
“Bukan hanya es saja, tapi sebetulnya pada setiap kaki meja itu juga harus dikasih kobokan isi air. Kalau tidak begitu nanti semut bisa merayap ke atas.”
Dia berkata begitu. Tapi dia tidak berusaha mendapatkan kobokan dan air. Tadi dia juga ikut-ikutan mengangkat me­ja, guling, kasur dan dipan. Seseorang lain segera menyambungnya,
“Memang begitu. Anak saya yang menjadi biolog ahli semut pernah me­ngatakan begitu. Dia sekarang jadi do­sen biologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Dia masih muda, tapi seben­tar lagi akan diangkat jadi profesor. Teman-temannya ngiri. Tapi saya bilang kepada­nya, jangan kecil hati kalau teman-temannya ngiri. Dia pandai dan satu-satunya ahli semut di Asia Tenggara ini, sudah sepantasnya jadi profesor, meskipun umurnya masih muda sekali.”
Dua orang anak kecil masuk kamar itu. Yang seorang membawa ember kecil berisi air. Satunya membawa empat ko­bokan. Orang-orang di situ sekali lagi berebutan untuk menawarkan jasanya. Kerja itu ditanggulangi oleh lebih kurang lima belas orang.
Setelah selesai, mereka duduk kembali. Wajah-wajah mereka memancarkan kepuasan karena merasa berjasa. Tiap kaki meja sudah terlandas pada kobokan berisi air, sehingga semut tidak mungkin merambat ke atas. Orang yang tadi menyalahkan tidak ada kobokan dan air merasa bangga, meskipun kobokan dan air itu ada di situ bu­kan karena jasanya. Setidaknya dia me­rasa itu idenya.
Udara makin panas. Bintik-bintik keringat makin banyak pada tubuh mereka. Seorang yang berbadan kekar mengusap-usa[ peluhnya. Kemudian berkata,
“Panas benar. Tapi tidak sepanas dulu pada jaman gerilya ketika saya memimpin penyerbuan Belanda di Mojokerto. Waku itu saya pegang pimpinan pasukan. Saya tahu bahwa musuh kita, Belanda, tidak tahan udara panas. Waktu itu belum ada air-conditioning. Saya serbu mereka. Mereka kocar-kacir. Mental mereka turun. Karena itu saya mendapat bintang jasa.”
Orang-orang di situ sekali lagi mengangguk-anggukkan kepala. Seolah mereka lupa dating ke situ untuk apa. Seseorang kelihatan merenung. Rupanya dia merenungkan duka yang ada di situ. Tahunya dia sedang meramu pertanyaan dalam otaknya supaya juga dapat bercerita yang lebih hebat.
“Maaf, sekarang apa sampeyan masih  aktif di Angkatan Darat?”
“Oh, masih.”
“Kalau boleh tabu, apakah pangkat sampeyan sekarang?”
“Mayor.”
“O, begitu. Adik saya pangkatnya kolonel. Sekarang dia jadi atase militer di Koln. Sudah tiga tahun dia di sana. Sebetulnya dia ingin pulang ke tanah air. Tapi karena dia cakap, tenaganya tetap dibutuhkan di sana. Suratnya yang terakhir mengatakan, dia sekarang sudah diusulkan naik pangkat jadi brigjen.
Seorang laki-laki masuk kamar. Dia duduk menemani mereka. Orang ini ayah si bayi yang mayatnya terlentang di atas meja. Mereka semua menunjukkan muka serius.
“Jam berapa tadi?” Tanya seseorang.
“Jam tujuh” jawab tuan rumah dengan sayu.
“Sudah dibawa ke dokter sebelumnya?”
“Sudah. Sudah saya periksakan pada beberapa dokter. Tapi rupanya memang Tuhan tidak mengijinkan saya untuk mo­mong bayi ini.
Mereka bercakap-cakap sampai fajar me­rekah. Tuan rumah kadang-kadang menemui mereka, kadang-kadang meninggalkan mereka kare­na banyak urusan yang harug diselesaikannya. Setiap tuan rumah meninggalkan me­reka, mereka bercerita lagi, seolah lupa uutuk apa mereka datang ke sana. Dan setiap tuan rumah menunggu mereka, me­reka berwajah serius, menandakan mereka pun ikut merasakan kedukaan itu.

c. Mendiskusikan Cerpen
(1) Diskusikanlah masalah-masalah di bawah ini!
(a)   Bagaimanakah sikap tamu di cerpen “Kecap Nomor Satu di Sekeliling Bayi”?
(b)   Bagaimanakah tanggapan Anda terhadap sikap tamu tersebut?
(c)   Bagaimanakah seharusnya sikap tamu pada saat melayat?

(2) Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan memilih 3 (selalu), 2 (sering), 1 (kadang-kadang), atau 0 (tidak pernah). Isilah dengan menuliskan angka!


No
Daftar Pertanyaan
Jawaban

1. 
Apakah Anda hadir untuk mengantar pemakaman pada saat ada tetangga yang meninggal?


2. 
Apakah anda menghibur hati orang yang sedang berduka atau mengalami musibah


3. 
Apakah Anda mengindarkan diri dari bergurau pada saat menghadiri pemakaman seseorang


4. 
Apakah Anda menghindarkan diri menceritakan kehebatan Anda atau keluarga Anda?


5. 
Apakah Anda membantu meringankan orang yang mendapatkan musibah

Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan memberi tanda centang (V) pada kolom setuju atau tidak setuju!


No
Daftar Pertanyaan
Setuju
Tidak Setuju

  1.  
Kita perlu hadir untuk mengantar pemakaman pada saat ada tetangga yang meninggal, kecuali bila kita mempunyai kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan



  1.  
Kita perlu menghibur hati orang yang sedang berduka atau mengalami musibah



  1.  
Kita perlu mengindarkan diri dari bergurau pada saat menghadiri pemakaman seseorang



  1.  
Kita perlu menghindarkan diri menceritakan kehebatan diri sendiri, terutama di hadapan orang yang sedang berduka



  1.  
Kita perlu membantu meringankan orang yang mendapatkan musibah




d. Refleksi Kegiatan
            Dari kegiatan mendengarkan dan merefleksikan pembacaan puisi di atas, apakah yang dapat Anda rasakan dan Anda dapatkan? Tuliskanlah!
(1)   Yang saya rasakan setelah mengikuti kegiatan ini
  1. Saya merasakan ….
(2)   Yang saya dapatkan setelah mengikuti kegiatan ini.
  1. Saya mendapatkan ….
(3)  Agar kegiatan ini lebih menarik dan menantang, saya mengusulkan 
      a.  ………………………..




6. Variasi
Model diskusi ini bisa dibuat dengan beberapa variasi. Variasi itu antara lain dalam bentuk sebagai berikut.
(1)   Dibuat dua kelompok yang berbeda pendapat.
(2)   Masing-masing kelompok diminta untuk menyampaikan pendapat dengan alasan-alasannya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]